Jadikan Ramadhan Makin Bermakna
Bulan Ramadhan, benar-benar merupakan bulan yang sangat agung, bulan istimewa, menjanjikan pahala tiada terkira besarnya bagi orang yang memanfaatkannya dengan ibadah puasa.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah semata, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau”.
Karena itulah, bulan Ramadhan ini merupakan salah satu kesempatan emas, sarat dengan kebaikan, satu masa yang menjadi ajang berlomba bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.
Membentengi Puasa dari Kesia-siaan
Salah satu yang harus mendapatkan perhatian bagi seorang muslim ialah berusaha untuk membentengi ibadah puasa dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya, seperti ghibah dan namimah (mengadu domba). Dua “penyakit” ini sangat berbahaya, akan tetapi sangat disayangkan, sedikit orang yang menyadarinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta, niscaya Allah tidak butuh kepada puasanya”.
Ulama berbeda pandangan tentang makna hadits tersebut. Sebagian dari mereka melihat, bahwasanya ghibah dan namimah membatalkan pahala puasa, tidak menyisakan sedikitpun … ! Pendapat lainnya menyatakan, ghibah dan namimah mengurangi pahala puasa dan bahkan kadang-kadang hanya tersisa sedikit. Artinya ibadah puasanya tidak bermanfaat.
Orang yang mengekang lidahnya, tidak berbuat ghibah dan namimah ketika berpuasa Ramadhan tanpa diiringi amalan-amalan sunnah, ia lebih baik daripada orang yang berpuasa dengan menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun tidak berhenti dari dua kebiasaan buruk tadi. Demikian kenyataan mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan pelanggaran.
Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya tentang arti takwa. Takwa ialah, melaksanakan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, jawab beliau.
Para ulama menegaskan: “Inilah takwa yang sebenarnya. Adapun mencampur-adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, ini tidak termasuk dalam bingkai takwa, meskipun dibarengi dengan amalan-amalan sunnah”.
Oleh sebab itu, para orang-orang shaleh merasa heran terhadap sosok yang menahan (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tetapi masih menyukai perbuatan dosa.
Ibnu Rajab Al-Hambali menyatakan: “Kewajiban seorang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan larangan agama. Mengekang diri dari makanan, minuman, jima`, sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal yang dibolehkan. Sementara itu, ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya. Pada bulan suci, larangan tersebut tentunya menjadi lebih tegas”.
Maka, sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang dibolehkan (diluar Ramadhan) seperti makan dan minum, namun tidak merasa alergi dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan setiap waktu, seperti ghibah, namimah, mencaci, mencela, mengumpat, memandang perempuan yang bukan mahram dan lain-lain. Semua ini mengikis pahala puasa.
Masalah lain yang perlu diperhatikan, yaitu amalan fardhu. Aktifitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan ialah: mendirikan shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid (bagi laki-laki), dan berusaha sekuat tenaga tidak tertinggal takbiratul ihram.
Telah diuraikan dalam suatu hadits, barangsiapa yang melaksanakan shalat 40 hari bersama imam dan mendapati takbiratul ihram, ditulis baginya dua jaminan surat kebebasan, (yaitu) bebas dari api neraka dan nifaq. Hadits ini shahih.
Seandainya kita, ternyata termasuk orang-orang mufarrith, yaitu amalannya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjama’ah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya, menjaga amalan fardhu pada bulan Ramadhan merupakan ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita mendapati orang yang bersemangat melaksanakan shalat tarawih, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun pada saat yang sama, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang lebih memilih tidur, sehingga melewatkan shalat wajib, dengan dalih persiapan untuk shalat tarawih?! Ini merupakan pelecehan terhadap kewajiban…!
Padahal amalan yang pertama kali dihisab diakhirat adalah shalat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dari seorang hamba adalah shalatnya. Jika salatnya baik maka telah sukses dan beruntunglah ia, sebaliknya, jika rusak, sungguh telah gagal dan merugilah ia.” (HR Tirmizi dan yang lain dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Hasan Gharib.”)
Sungguh, mendirikan shalat lima waktu bersama imam saja, tanpa melakukan shalat tarawih satu malam pun, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih, namun menyia-nyiakan shalat fardhu yang lima waktu. Ini bukan berarti kita memandang remeh terhadap shalat tarawih, akan tetapi, seharusnya seorang muslim itu menggabungkan keduanya, memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang fardhu (shalat lima waktu), baru kemudian melangkah menuju amalan sunnah, seperti shalat tarawih.
Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi orang yang menginginkan kebaikan di sisi Allah Azza wa Jalla. Salah satu kesempatan emas itu ialah adanya lailatul qadar. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an (yang artinya):
“Malam kemuliaan (lailatul qadar) itu lebih baik dari seribu bulan”. (QS. Al-Qadar : 3).
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bahwasanya (pahala) amalan pada malam yang barakah itu setara dengan pahala amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan yang tidak ada padanya Lailatul Qadr. 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun lebih. Itulah di antara keutamaan malam yang mulia tersebut. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk meraihnya, dan beliau bersabda:
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR al-Bukhari, An Nasa’i,dan Ahmad)
Karenanya, marilah kita berusaha untuk mendapatkannya, dan mengisi lailatul qadr itu dengan beramal shalih.
Sebagaimana tuntunan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, hendaklah umat ini berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan lailatul qadr pada tujuh hari yang tersisa dari sepuluh hari yang terakhir. Atau dalam hadits Abu Hurairah, carilah lailatul qadr pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan. Karenanya, seyogyanya setiap muslim bergegas untuk mencarinya dengan memperbanyak amal ibadah dengan tekun utamanya pada malam-malam tersebut.
Para salafush shalih berusaha meraih lailatul qadr pada malam 21. Sebagian yang lain pada malam 23. Sebagian yang lain pada malam 27. Sebagian yang lain mencari pada malam 24. Dan hampir-hampir pada setiap malam 10 hari terakhir. Maka marilah kita berusaha secara maksimal pada 10 terakhir bulan Ramadhan ini, dengan menyibukkan diri beramal dan beribadah, sehingga bisa menggapai pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hanya sedikit amalan, kita bisa menggenggam pahala, lantaran orang yang beramal pada malam lailatul qadr ini akan menyamai amalan ibadah selama seribu bulan.
Kalau ada orang yang tidak berusaha mencarinya kecuali pada satu malam tertentu saja dalam setiap Ramadhan (dengan asumsi lailatul qadr jatuh pada tanggal ini atau itu), walaupun dia berpuasa Ramadhan selama 40 tahun, barangkali dia -sama sekali- tidak akan pernah mendapatkan moment tersebut. Selanjutnya hanya penyesalan yang ada.
Sekali lagi, hendaklah setiap muslim beramal dan beribadah pada setiap malam sepuluh terakhir itu seraya berkata “malam ini adalah malam lailatul qadr”. Andai dugaannya meleset, dia perlu mengingat, bahwa sesungguhnya malam itu termasuk sepuluh terakhir Ramadhan, malam yang paling utama selama Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, bahwa 10 hari terakhir Ramadhan lebih afdhal dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.
Semoga Ramadhan kali menjadi lebih bermakna bagi kita untuk perbaikan diri dan peningkatan kualitas amal ibadah kita. Wallahu ‘alam bish shawab.[]
Buletin al-Balagh edisi 34 Tahun IX 1435 H