HM. Soeharto Dalam Kenangan Para Aktivis Muslim
Tidak disangsikan lagi bahwa HM. Soeharto telah membawa bangsa ini menjadi bangsa besar, bermartabat dan disegani di mata internasional. Berhasilnya negeri ini berswasembada beras pada tahun 1983 hanya secuil dari prestasi itu.
Salah satu di kunci keberhasilan itu adalah terciptanya situasi stabil yang memungkinkan ia bekerja dengan tenang. Tapi sayang, atas nama stabilitas ia memberangus semua kekuatan-kekuatan yang dianggap aral dan membungkam tokoh-tokoh kritis. Bukan Cuma itu, atas nama stabilitas juga ia membonsai gerakan dakwah dan mempersempit ruang geraknya para pegiatnya bahkan menumpahkan darah mereka.
Pembaca budiman, pada edisi kali ini al-Balagh mencoba mengangkat satu sisi yang kurang mendapatkan perhatian dari media
Setelah rezim Orde lama runtuh, disusul naiknya orde baru pimpinan presiden Soeharto, umat Islam menyambutnya dengan gembira. Umat berharap ada perkembangan yang positif bagi perkembangan Indonesia umumnya dan keserasia dengan umat Islam pada khususnya. Pada awalnya hubungan masih sangat harmonis, namun dalam perjalanannya bibit konflik itu mulai muncul. Islamofobia Orde Baru lambat laun terlihat jelas. Orde Baru menganggap umat Islam sebagai ancaman bagi kekuasaannya.
Sejak itu mulailah dibuat berbagai rekayasa untuk menghancurkan kekuatan umat Islam di Indonesia. Dengan dukungan tokoh Beni Moerdani yang Islamofobia, Soeharto membuat konspirasi intelejen guna memberangus para aktivis Islam. Dari rekayasa ini muncul berbagai kasus yang menyayat perasaan umat.
Tepat tanggal 12 September 1984 pecah tragedi Tanjung Priok. Secara membabi buta ratusan umat Islam dibantai. Entah berapa ratus orang hilang. Banjir darah adalah saksi bisu atas kebringasan aparat terhadap umat Islam. Cerita-cerita dari saksi penjagalan membuat bulu roma berdiri. Tidak sedikit yang dibiarkan tergolek di rumah sakit militer dalam kondisi peluru masih bersarang di tubuh. Bahkan ada sejumlah korban yang terkena tembakan senjata militer dibiarkan lukanya membusuk hingga akhirnya harus diamputasi. Tragis dan menyayat.
Tahun 1989, meletus tragedi Talangsari Lampung. Orde Baru kembali menjagal puluhan umat Islam. Selain itu, tidak sedikit yang diteror dan disiksa dalam penjara. Atas nama stabilitas, darah umat Islam kembali harus ditumpahkan.
Dua tindakan di atas seakan menjadi pembenar tindakan aparat kepada umat Islam di Aceh. Tragedi Aceh terjadi dari tahun 1989-1998. Ratusan bahkan ribuan umt Islam menjadi korban kebringasan militer akibat pemberlakuan DOM oleh pemerintah Orde Baru. Disusul tragedi Haor Koneng (1993). Semua kasus di atas selalu dikaitkan dengan tuduhan yang menyudutkan umat Islam. Sampai wafatnya, Soeharto tak pernah menyatakan mohon maaf secara terbuka kepada umat atas semua kebrutalan itu.
Di sisi lain, pemerintahan Soeharto sangat memberi peluang lebar kepada para pengusaha Cina non Muslim. Peluang itu mereka tidak sia-siakan. Bahkan mereka berhasil membangun jaringan yang cukup kuat dan rapi. Salah satu jaringan bisnis mereka adalah dunia pertelevisian. Saat penguasa Orde Baru ini wafat, hampir semua jaringan TV milik konglomerat memuji, menyanjungnya. Betul-betul menyihir perasaan umat.
Dari sini, muncul istilah ‘tirani minoritas’. Mereka berkolaborasi dengan soeharto dalam mengeluarkan kebijakan yang selalu merugikan kaum Muslimin, penghuni mayoritas negeri ini. Di antara kebijakan itu adalah lahirnya CSIS, yaitu sebuah lembaga studi yang menjadi dapur untuk menyiapkan konsep-konsep bagi pimpinan Orde Baru. Dari sinilah lahir slogan-slogan politik seperti “Politik No, Pembangunan Yes”, Floating Mass System”, “Monoloyalitas Pegawai Negeri”, “Akselerasi Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun”. Tak ayal, Ide-ide itu pun menjadi dokumen Negara.
Tak lupa mereka meniupkan isu tentang paham “Sektarian/Primordialisme” yang dipertentangkan dengan paham kebangsaan. Padahal tidak ada pertentangan antara ketaatan beragama dan membangun bangsa. Ini berdampak pada semakin tersekularkannya bangsa Muslim ini. Dari sini, banyak kaum Muslimin yang enggan belajar mempelajari Islam. Karena dalam anggapan mereka, taat beragama indentik dengan kemunduran dan keterbelakangan.
Hasil perpaduan Soeharto dan kelompok minoritas sangat dirasakan getirnya oleh umat Islam. Dengan rekayasa intelejen mereka berhasil membungkam para pegiat Islam dengan sejumlah rekayasa yang canggih. Tidak cukup mempecundangi umat dibidang politik, mereka pun mengobok-obok ekonomi umat yang semula maju dan berkembang dibuat hancur hingga ke seluruh plosik tanah air. Mereka hancurkan ekonomi umat yang berbasis kerakyatan dan home industri dengan mengembangkan ekonomi konglomererasi. Akibatnya, banyak perusahaan yang berbasis umat seperti Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang berbasis di tiga wilayah yaitu Solo, Pekalongan, dan Tasikmalaya, dan gulung tikar. Mereka tidak mampu menandingi perusahaan konglomerasi yang menggurita, menghisap, dan menghancurkan para pesaingnya.
Yang muhim dicatat adalah kehancuran itu bukan karena mereka tak mampu bersaing, tapi karena pemerintah Orba bersikap diskriminatif. Pemerintah Orba hanya mendukung para konglomerat dengan dua hal. Pertama, memberikan dukungan dana tak terbatas bagi pengusaha keturunan Tionghoa. Kedua, pemerintah menyediakan akses bagi produk para konglomerat, seperti akses pemasaran, distribusi dan transportasi hingga kemudahan untuk hubungan ke luar negeri.
Sebaliknya, pemerintah Orba bersikap cuek terhadap pengusaha berbasis Muslim. Pemerintah tak pernah mengucurkan dana segar guna menunjang roda ekonomi mereka. Betul-betul sikap yang tak sebanding dengan sikap terhadap para konglomerat. Kalaupun dana dikucurkan biasanya dengan proses berbelit-belit dan dipersulit. Dalam hal distribusi, pemerintah tak pernah mengeluarkan satu kebijakan pun yang menunjang pemasaran dan distribusi produk perusahaan Muslim. Jadila perusahaan-perusahaan itu bongkar tenda alias gulung tikar.
Padahal, kenyataan bertutur ekonomi konglomerasi yang dibangun orde baru bertahan saat dihantam badai krisis menghantan Indonesia. Triliunan dana yang dikucurkan kepada mereka hingga ini belum dikembalikan bahkan dibawa lari ke luar negeri. Mereka inilah sesungguhnya yang menghancurkan perekonomian bangsa.
Akhir kata, HM. Soeharto memang masa lalu. Ia wafat dengan meninggalkan sejuta kenangan bagi bangsa ini. Memang kenangan manis sangat banyak. Tapi kenangan yang paling membekas bagi para aktivis dakwah adalah ketidak berpihakannya bahkan sikap represifnya pada upaya-upaya segelintir tokoh umat guna mengembalikan eksistensi umat Islam. Ini penting untuk kita angkat, agar kedepan, siapapun yang memimpin negeri ini tidak boleh tidak harus memberi sokongan pembelaan kepada umat Islam yang merupakan penghuni mayoritas bangsa ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menerima seluruh amal-amal shalih kita semua (AlBalagh)