Oleh: Ustadz Muhammad Irfan Zain, Lc.
Diantara wujud kemurahan Allah kepada hamba-Nya adalah syari’at kurban. Dengannya Allah membuka pintu bagi hamba-Nya untuk mendulang pahala yang sungguh teramat besar dan banyak bila dibandingkan dengan usia mereka yang sungguh sangat terbatas. Di sisi lain, Allah memberi keluasan bagi hamba-Nya yang tidak berkecukupan untuk turut juga merasakan kegembiraan dan mendulang pahala di hari yang agung dan mulia ini, yaitu hari-hari awal di bulan Dzulhijjah.
Kurban yang dilaksanakan dengan ikhlas merupakan symbol ketakwaan seorang hamba dan kecintaannya kepada Allah. Allah berfirman;
﴿لَن يَنَالَ اللهَ لحُوُمُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَناَلُهُ التَّقْوَى مٍنْكُمْ﴾[الحج:37]
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”. (Al-hajj; 37).
Mengingat hal tersebut, maka Allah sangat mencintai ibadah itu -bahkan- lebih dari kecintaan-Nya kepada ibadah lain yang dilakukan pada hari ke-10 di bulan Dzulhijjah tersebut, sedangakan –dikesempatan lain- Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyatakan bahwa sekecil apapun amal shaleh yang dilakukan pada hari-hari itu (sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah), maka nilainya disisi Allah akanlah lebih mulia, bahkan meski dibandingkan dengan jihad –sekalipun- yang dikerjakan diluar hari-hari itu, kecuali mereka yang syahid dalam jihadnya.
Maka bila demikian keutamaan beramal pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, lantas bagaimanakah pahala yang Allah Subhanahu wa ta’ala siapkan bagi orang-orang yang berkurban pada hari ke-10 di bulan tersebut ?. Disebutkan dalam sebuah riwayat;
«ما عمل ابن آدم يوم النحر عملا هو أعظم عند الله -أو أحب إلى الله- من إراقة الدم. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع على الأرض»
“Tiada satupun amalan seorang manusia yang lebih mulia atau lebih dicintai oleh Allah -ketika itu- daripada mengalirkan darah kurban. Sesungguhnya tetesan darah kurban itu akan tiba pada sebuah tempat di sisi Allah, sebelum jatuh ke permukaan bumi.”.[1]
Hukum Pelaksanaan Ibadah Kurban.
Kebanyakan ulama menilai bahwa hukum melakukan ibadah kurban adalah sunnah mu’akkadah[2]. Bagi orang-orang yang memiliki kesanggupan, sangat tidak disenangi jika mereka tidak melaksanakannya. Allah berfirman;
فصل لربك وانحر
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Al-kautsar; 2). Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata;
من وجد سعة لأن يضحي فلم يضح فلا يحضر مصلانا
“Barangsiapa memiliki kesanggupan lantas ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghadiri lapangan tempat shalat kami ini.”.[3]
Namun demikian kerasnya kecaman terhadap orang-orang yang memiliki keluasan rezki lantas tidak berkurban, tetaplah ibadah ini bukan merupakan sebuah hal yang diwajibkan. Karenanya, beberapa orang sahabat pernah meninggalkannya sebagai bentuk penerangan bagi ummat bahwa ibadah tersebut tidaklah merupakan ibadah yang wajib dilakukan. Diantara sahabat yang dimaksud adalah Abu Bakar, Umar dan Ibnu ‘Abbas[4].
Jenis Hewan Yang Dikurbankan
Jenis hewan yang boleh dikurbankan adalah unta, sapi, kambing, dan domba. Hewan-hewan inilah yang masuk dalam kategori “Bahimatu Al-an’am”[5]. Allah berfirman;
﴿وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ﴾[الحج:28]
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa “bahimatu al-an’am.” (Al-hajj; 28)
Syarat-syarat Hewan Sembelihan
Dipersyaratkan bagi sahnya hewan sembelihan yaitu umurnya telah mencapai usia tertentu;
- Usia unta yang sah dijadikan hewan kurban adalah 5 tahun.
- Usia sapi yang sah dijadikan hewan kurban adalah 2 tahun.
- Usia kambing yang sah dijadikan hewan kurban adalah 1 tahun.
- Usia domba yang sah dijadikan hewan kurban adalah 6 bulan..
Usia ketiga jenis hewan yang pertama disebut musinnah, maka jika seorang sulit untuk mendapatkan hewan dengan usia tersebut, bolehlah ketika itu berkurban dengan domba yang berusia 6 bulan (jadza’ah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْن
“Janganlah kalian menyembelih melainkan hewan-hewan “musinnah”. Namun jika kalian sulit mendapatkan hewan semacam itu, maka bolehlah kalian menyembelih jadza’ah dari hewan jenis domba[6].”
Dipersyaratkan pula bagi sahnya hewan kurban yaitu selamatnya hewan tersebut dari cacat yang nyata dan dapat menurunkan kualitas hewan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda;
لا يجوز من الضحايا العوراء البين عورها والعرجاء البين عرجها والمريضة البين مرضها والعجفاء التي لا تنقى
“Empat jenis hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban yaitu; hewan yang buta sebelah matanya dengan kebutaan yang jelas, hewan yang pincang dengan kepincangan yang jelas, hewan yang sakit dengan sakit yang jelas dan hewan yang sangat kurus tidak memiliki sumsum.”.[7]
Diikutkan pula dalam kategori cacat yang telah disebutkan adalah cacat yang lebih parah dari yang telah disebutkan. Demikian juga hewan yang telah dipotong kemaluan dan testisnya[8].
Adapun hewan-hewan yang terpotong setengah atau lebih dari tanduk atau telinganya, maka hewan demikian oleh sebagian ulama dinyatakan makruh untuk dijadikan sebagai hewan kurban. Olehnya maka Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam memerintahkan seseorang yang akan menyembelih kurban untuk memeriksa mata, telinga dan giginya. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata;
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالْأُذُنَ وَلَا نُضَحِّيَ بِشَرْقَاءَ وَلَا خَرْقَاءَ وَلَا مُقَابَلَةٍ وَلَا مُدَابَرَةٍ
“Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam memerintahkan kami memeriksa mata dan telinga hewan kurban; dan agar kami tidak berkurban dengan hewan yang terpotong sebagian daun telinganya dan yang lubang telinganya, yang terpotong pinggir bawah atau pinggir atas daun telinganya.”[9].
Abu Adh-dhahhak (Ubaid bin Fairuuz) pernah berkata kepada Al-baraa’ –radhiyallahu ‘anhu- perihal cacat yang terdapat pada hewan sembelihan;
إني أكره أن يكون في القرن نقص وأن يكون في السن نقص قال ما كرهته فدعه ولا تحرمه على أحد
“Sesungguhnya saya tidak senang kepada hewan yang cacat tanduk dan giginya. Al-baraa’ berkata; jika engkau tidak senang pada sesuatu maka tinggalkanlah, namun janganlah engkau mengharamkannya atas seorangpun.”[10].
Adapun hewan yang hanya diperas testisnya[11], maka sah dijadikan hewan kurban. Demikian pula hewan dengan cacat ringan, yang tidak terlalu berpengaruh terhadap harga dan kualitas daging; tidak -pula- mengapa untuk dijadikan hewan kurban.[12]
Jika cacat pada hewan timbul setelah hewan tersebut dibeli dan siap untuk dikurbankan, maka hendaklah dilihat pada orang yang menyimapan hewan itu. Bila orang tersebut telah melakukan penjagaan dan pemeliharaan yang sesuai dengan prosudur, maka tidaklah mengapa. Tetapi bila ia tidak melakukan hal tersebut menurut prosudur yang semestinya, maka hendaklah ia menggantinya.
Beberapa Ketentuan Bagi Orang Yang Menyembelih
Bagi seorang yang akan menyembelih, maka Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda;
إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Apabila kalian telah melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian berkehendak untuk melakukan kurban, maka janganlah ia memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.[13]”.
Namun ketentuan ini berlaku bagi seorang yang akan menyembelih untuk dirinya. Adapun bagi orang-orang yang akan menyembelih bagi orang lain (tukang jagal) atau orang-orang yang diikutkan oleh orang yang menyembelih dalam sembelihannya (keluarga si pemilik kurban, seperti anak, istri, dll), maka tidaklah berlaku ketentuan ini atas mereka.
Diantara hukum yang berkenaan dengan penyembelih adalah hendaklah yang menyembelih binatang kurban adalah orang yang hendak melaksanakan kurban, tetapi tidak mengapa diwakilkan kepada seorang yang mahir dalam penyembelihan. Maka bila ia mewakilkannya kepada seorang, disunnahkan baginya untuk menyaksikan proses penyembelihan dan turut mengucapkan basmalah dan takbir bersama orang yang diwakilkan untuk menyembelih.[14].
Seorang yang menyembelih disunnahkan untuk berkata;
بِسْمِ اللهِ اللهُ أكبرُ الَّلهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَ لَكَ الَّلهُمَّ هَذَا عَنْ فُلَانٍ وَ عَنْ آلِ فُلاَنٍ
“Dengan nama Allah, Allah maha besar. Ya Allah sembelihan ini merupakan nikmat dari-Mu dan hanya untuk-Mu. Ya Allah, sembelihan ini adalah dari Fulan (disebutkan nama orang yang memiliki sembelihan) dan juga dari keluarga Fulan.[15]”.
Mengucapkan basmalah tatkala menyembelih oleh sebagian ulama adalah sebuah perkara yang wajib[16], karenanya hal ini perlu diperhatikan. Maka bila seorang lupa mengucapkannya tatkala menyembelih, hendaklah ia mengucapkannya tatkala ingat. Aisyah berkata;
إِنَّ هَا هُنَا أَقْوَامًا حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِشِرْكٍ يَأْتُونَا بِلُحْمَانٍ لَا نَدْرِي يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَا قَالَ اذْكُرُوا أَنْتُمْ اسْمَ اللَّهِ وَكُلُوا
“Sesungguhnya beberapa orang (yang baru memeluk Islam) biasanya datang menghadiahkan daging dari hewan sembelihan, sedangkan kami ragu; apakah mereka membaca “bismillah” atau tidak ?!. Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wasallam bersabda; “Kalau demikian, bacalah oleh kalian bismillah, setelah itu makanlah hewan tersebut”.”[17].
Diantara hukum-hukum yang berkenaan dengan penyembelihan, hendaklah seorang yang menyembelih membagi daging kurban menjadi tiga bagian; sepertiga bagian untuk dirinya, sepertiga bagian untuk dihadiahkan dan sepertiga bagian untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Menyedekahkan hewan kurban kepada orang miskin -oleh sebagian ulama- adalah perkara wajib, karena maksud dari kurban adalah mengalirkan darah dan bersedekah. Allah berfirman;
﴿فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالمُعْتَرَّ﴾[الحج:36]
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-hajj; 36). Olehnya, tidaklah pantas bagi seorang muslim menggugurkan pahala ibadahnya dengan melakukan hal yang dimurkai Allah, diantaranya adalah dengan menghalangi seorang miskin untuk mendapatkan haknya di hari yang mulia tersebut.
Dipersyaratkan pula dalam proses penyembelihan yaitu; memotong empat urat di leher biantang sembelihan. Keempat urat itu adalah dua buah urat yang berada di sisi kiri dan kanan leher hewan, saluran makanan dan saluran pernafasan hewan tersebut.
Tatkala menyembelih, hendaklah menajamkan pisau dan tidak menyiksa hewan itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَة وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban berbuat baik atas segala sesuatu. Apabila kalian menyembelih, maka hendaklah kalian berlaku baik ketika menyembelih; dan apabila kalian membunuh, maka hendaklah kalian berlaku baik dalam melakukannya. Hendaklah seorang yang hendak menyembelih menajamkan pisau dan berlaku baik terhadap hewan sembelihan sebelum menyembelihnya.[18]”
Interval Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan dimulai setelah khutbah shalat I’ed dan berakhir setelah masuknya waktu maghrib pada hari ke-3 setelah hari raya. Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda;
أيام مِنَى أيام أكل وشرب وذكر لله تعالى
“Hari-hari Mina itu (hari ke-11, 12 dan 13 dari bulan Dzulhijjah) adalah hari-hari makan, minum dan hari-hari berdzikir”, dan masuk dalam kategori berdzikir adalah menyembelih.[19]”
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى وَمَنْ كَانَ لَمْ يَذْبَحْ حَتَّى صَلَّيْنَا فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللَّه
“Barangsiapa menyembelih sebelum shalat I’ed, maka hendaklah dia mengulanginya setelah pelaksanaan shalat I’ed. Adapun bagi seorang yang belum menyembelih hingga usai shalat, maka hendaklah ia menyembelih setelah shalat dengan membaca basmalah.[20] ”
Menyertakan Orang Lain Dalam Ibadah Qurban
Dalam pelaksanaan ibadah qurban, boleh bersyarikat (kongsi) antara tujuh orang untuk menyembelih seekor unta atau sapi. Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata;
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.
“Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- seekor unta dan seekor sapi masing-masing untuk tujuh orang.”[21].
Namun kebolehan diatas tidaklah berlaku bila hewan kurban itu adalah kambing atau domba.
Bila hewan kurban berupa kambing atau domba; maka boleh menyertakan keluarga atau siapa saja dalam kurban yang dilakukan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pernah Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wa sallam menyembelih dua ekor domba. Lantas Beliau berkata pada salah satu domba yang disembelihnya;
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ آلِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, kurban ini adalah untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad.” Kemudian, pada hewan yang kedua Beliau berkata;
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ أُمَّتِي لِمَنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ ، وَشَهِدَ لِي بِالْبَلاغِ
“Ya Allah, kurban ini adalah untuk ummatku yang mentauhidkan-Mu dan mempersaksikan kerasulanku.[22]”
Namun bila hewan kurban itu berupa sapi atau unta, maka tidak ada riwayat yang menyebutkan bolehnya mengikutkan orang-orang yang tidak menyembelih (keluarga) dalam ibadah kurban, sebagaimana kebolehan melakukan hal itu bila hewan kurban berupa kambing dan yang sejenisnya.
Diantara hukum lainnya adalah bila hari korban bertepatan dengan hari aqiqah, bolehkah menggabungkan ibadah qurban ke dalam ibadah aqiqah?.
Beberapa ulama menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan, karena esensi dari aqiqah adalah mengalirkan darah hewan sebagai rasa syukur atas kelahiran anak, dan esensi ini pun (mengalirkan darah kurban sebagai bentuk syukur) telah ada pada ibadah qurban.
Disamping itu, hukum pelaksanaan qurban lebih ditekankan (lebih besar) dari hukum pelaksanaan aqiqah; olehnya boleh memasukkan (menggabungkan) pelaksanaan ibadah yang lebih kecil ke dalam pelaksanaan ibadah yang lebih besar.
Namun jika masing-masing ibadah tersebut dilakukan secara terpisah, maka -tentulah- hal itu akan lebih utama.
Berutang Untuk Melakukan Qurban
Telah disebutkan sebelumnya sebuah riwayat yang mauquf, bersumber dari Abu Hurairah;
من وجد سعة فلم يضحِّ فلا يقربن مصلانا
“Barangsiapa memiliki kesanggupan untuk berkurban namun ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati lapangan tempat shalat kami ini. [23]”.
Dari hadits ini diketahui bahwa salah satu syarat orang yang diperintahkan melakukan ibadah ini adalah orang-orang yang memiliki keluasan harta. Karenanya, bukan merupakan hal yang dianjurkan untuk berutang demi melaksanakan ibadah ini. Terlebih bahwa ibadah qurban dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan utang merupakan pembebanan diri yang memiliki beberapa konsukwensi berkenaan dengan kewajiban melunasinya.
Upah Pemotong
Tidak boleh memberi upah berupa daging atau bagian tubuh yang lain dari hewan kurban kepada seorang yang ditugaskan untuk menyembelih hewan. Sebab hal ini karena qurban adalah ibadah, dagingnya tidak diperjualbelikan, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Maka seorang yang mengupah tukang potong dengan anggota tubuh tertentu dari hewan kurban berarti telah memperjualbelikannya. Ali –radhiyallahu ‘anhu- berkata;
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى الْمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban (sebagai upah) kepada penyembelihnya.[24]”
Namun tidak mengapa mengupah mereka dengan mengambil selain dari hewan kurban. Demikian juga menghadiahkan daging atau anggota tubuh lain dari hewan kurban kepada mereka, tidaklah mengapa, selama berupa hadiah dan bukan sebagai upah[25].
Demikianlah beberapa hukum berkenaan dengan ibadah yang mulia ini. Semoga amalan ini dinilai sebagai sebuah ketaatan di sisi Allah dan dilipatgandakan pahalanya.[]
——————————————-
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya. Syaikh al Baani –rahimahullah- menyatakannya sebagai hadits yang lemah (Silsilah Dha’ifah, 2/14). Imam al Mubarakfuuri –rahimahullah- berkata mengomentari pernyataan Ibnu al ‘Arabi bahwa tidak ada satupun hadits shahih yang berkenaan dengan keutamaan ibadah qurban;
قلت الأمر كما قال بن العربي وأما حديث الباب فالظاهر أنه حسن وليس بصحيح والله تعالى أعلم
“Pernyataan Ibnu al ‘Arabi adalah tepat. Adapun hadits dalam bab ini (hadits tentang keutamaan qurban sebagaimana yang telah disebutkan), maka yang nampak bahwa derajatnya adalah hasan, dan tidak sampai pada derajat shahih.”. (Tuhfatu al Ahwadzi, 5/63).
[2] Lihat “Bidaayatu al Mujtahid, 1/597)
[3] Syaikh al Baani –rahimahullah- berkata dalam “Shahih at Targhiib wa at Tarhiib, 1/264” bahwa hadits ini shahih secara mauquuf kepada Abu Hurairah.
[4] Berkata syaikh Shaaleh Ali as Syaikh;
ويدل على عدم الوجوب أنّ أبا بكر رضي الله عنه ترك التضحية، وكذلك عمر ربما ترك التضحية، كذلك ابن عباس وعدد من الصحابة، خشية أن يرى الناس أن التضحية واجبة.
“Menunjukkan bahwa ibadah ini tidaklah wajib adalah perbuatan Abu Bakar yang pernah tidak berkurban, demikian juga Umar, Ibnu Abbas dan beberapa sahabat yang lain. Mereka tidak berkurban karena khawatir orang-orang akan menyangkanya sebagai ibadah yang wajib.”. (Dinukil dari ceramah Beliau yang disalin ulang oleh Salim al Jazaairi, Maktabah as Syaikh Shaaleh Alu as Syaikh)
[5] Imam Ibnu al Qayyim -rahimahullah- berkata;
“لَمْ يُعْرَفْ عَنْهُ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَلَا عَنْ الصّحَابَةِ هَدْيٌ وَلَا أُضْحِيّةٌ وَلَا عَقِيقَةٌ مِنْ غَيْرِهَا.” (زاد المعاد, 2/285)
“Tidak dikenal dari kebiasaan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan tidak juga dari para sahabatnya, bahwa mereka pernah menyembelih selain hewan-hewan itu ketika melakukan kurban, hady dan tidak pula ketika akikah.”.
[6] HR. Muslim, 1/142
[7] HR. Nasaa’I, 7/215
[8] Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz Aalu as Syaikh berkata;
إن كان مجبوبا ذاهب الذكر مع الخصيتين فإنه لا يجزئ باتفاق أهل العلم، وأما إذا كان خصيا موجوءا بربط الخصيتين مع بقاء الآلة فإن هذا لا بأس به ويجزئ
“Apabila hewan sembelihan itu terpotong kemaluan dan testisnya, maka jenis ini tidak sah untuh dijadikan hewan kurban menurut kesepakatan para ulama. Namun jika hewan itu dikebiri dengan –hanya- mengikat kedua testisnya dan tidak memotong kemaluannya, maka jenis ini tidak mengapa untuk dijadikan hewan sembelihan.”. (Ceramah Beliau berjudul ‘Ahkaam al hadyi wa al Adhaahi’ yang disalin oleh Saalim al Jazaairi)
[9] HR. Ahmad, 2/316
[10] HR. ahmad, 4/284
[11] Bahkan ada keterangan yang menyebutkan tentang disenanginya memilih domba yang telah dikebiri sebagai hewan kurban, karena mempunyai daging yang lebih banyak. Aisyah dan Abi Hurairah -radhiyallahu ‘anhuma- berkata;
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا أراد أن يضحي اشترى كبشين عظيمين أقرنين أملحين موجوءين . فذبح أحدهما عن أمته لمن شهد لله بالتوحيد وشهد له بالبلاغ . وذبح الآخر عن محمد وعن آل محمد صلى الله عليه و سلم
“Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ingin menyembelih hewan kurban maka Beliau membeli dua ekor domba besar yang bertanduk, berwarna putih yang berpadu dengan sedikit warna hitam, dan telah dikebiri (diperas testisnya).”. (HR. Ibnu Majah, [2 /1043])
[12]. Disebutkan dalam al Bidayah, (1/601);
أجمعوا على أن ما كان من هذه الأربع –المذكور في حديث؛ لا يجوز من الضحايا العوراء البين عورها- خفيفا فلا تأثير له في منع الإجزاء .
“Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa keempat cacat yang tidak sah dengannya hewan sembelihan, bilamana kadarnya hanya sedikit, maka yang demikian itu bukanlah merupakan sebab tidak sahnya hewan itu dijadikan sebagai hewan sembelihan.”.
[13] HR. Muslim, 6 / 1563
[14] Disebutkan dalam “al Mughni”, (11/117), bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada Fathimah -radhiyallahu ‘anha- ;
احضري أضحيتك يغفر لك بأول قطرة من دمها
“Hadirilah hewan sembelihanmu ketika disembelih oleh yang engkau wakilkan, karena sesungguhnya dosamu akan dihapuskan pada tetes pertama dari darah hewan itu.”. Namun hadits ini dinyatakan oleh syaikh Nashiruddin al Baani -rahimahullah- sebagai hadits munkar. (as Silsilah ad Dha’ifah, 2/15)
[15] Lihat al Mughni, (3/462)
[16] Bahasan tentang hukum membaca basmalah ketika akan menyembelih insya Allah akan disendirikan diakhir bahasan ini.
[17] HR. Bukhari, 18/410
[18] HR. Ahmad, 28/ 337
[19] HR Ibnu Majah, 1/ 548
[20] HR. Bukhari, 14/ 29
[21] HR. Muslim, 4/ 87
[22] HR. Thabraani, 3/302
[23] Syaikh al Baani –rahimahullah- berkata dalam “Shahih at Targhiib wa at Tarhiib, 1/264” bahwa hadits ini shahih secara mauquuf kepada Abu Hurairah.
[24] Muttafaq ‘alaihi. Lihat Buluughul Maraam, no. 1353
[25] Lihat “Taysiir al ‘Allaam”, 1/ 381
1 Comment
Pingback: Fiqih Qurban | WAHDAH PALOPO