Waktu posting: Tue, Nov 12th, 2013
Kajian / Syi'ah | Oleh masteradmin | Dibaca: 219 kali

Di Hari Asyura, Berhentilah Sejenak dan Merenunglah…!

Editor: Abu ‘Ali al-Sajjad

Tuhanku, hanya bagiMu segala puji yang berulang

Selamanya, dan tidak untuk siapa pun selain Engkau

Wahai Yang menumbuhkan bebunga wangi berkembang

Takkan rugi kapan pun orang yang mendoa dan berhadap kepada Engkau

Amma ba’du,

Sungguh, dialah al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib –semoga limpahan rahmat dan ridha selalu terlimpah kepadanya dan kepada ayahnya-, cucu dan raihanah jiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia dan saudaranya adalah 2 penghulu kaum muda penghuni surga.

Ia datang bagai tetes air yang jernih…bagai sekuntum bunga yang mekar…bak sebatang pohon yang indah yang disirami dengan air ilmu dan ibadah. Dan seperti itulah keadaannya, hingga ia syahid pada hari itu dalam keadaan terzhalimi. Duhai, kita sungguh berlepas diri kepada Allah dari siapa pun yang rela terhadap pembunuhannya; entah di zaman itu atau setelahnya hingga Hari Akhir!

Tapi…

Apakah puasa pada Hari Asyura adalah sebuah bid’ah yang diciptakan oleh Bani Umayyah, sebagai wujud kegembiraan mereka atas terbunuhnya al-Husain alaihissalam??!

Atau apakah ia adalah sesuatu yang telah disyariatkan sebelum kewajiban puasa Ramadhan, lalu kewajibannya dihapus (dinasakh) oleh puasa Ramadhan??

Apakah ia telah disyariatkan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hingga hari ini ia tetap disyariatkan??

Beruntung atau merugikah orang yangmeninggalkannya??

Untuk menjawab itu semua, bacalah kalimat-kalimat berikut ini…

DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA PUASA ASYURA (Dari riwayat Imam Ahlul Bait-red)

1. Dari Abu al-Hasan alaihissalam, ia mengatakan:

صام رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يوم عاشوراء

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada Hari Asyura.”

(Lih. Tahdzib al-Ahkam 4/29, al-Istibshar 2/134, Wasa’il al-Syi’ah 7/337, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/475, al-Hada’iq al-Nadhirah 13/370-371, Shiyah Asyura hal. 112)

2. Dari Ja’far, dari ayahnya alaihimassalam, bahwa ia berkata:

صيام يوم عاشوراء كفارة سنة

“Puasa pada Hari Asyura itu akan menghapuskan dosa setahun.”

(Lih. Tahdzib al-Ahkam 4/300, al-Istibshar 2/134, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/475, al-Hada’iq al-Nadhirah 13/371,Wasa’il al-Syi’ah 7/337)

3. Dari al-Shadiq rahimahullah, ia berkata:

من أمكنه صوم المحرم فإنه يعصم صاحبه من كل سيئة

“Barang siapa yang memungkinkan baginya berpuasa bulan Muharram, maka itu akan melindungi pelakunya dari segala kejahatan.”

(Lih. Wasa’il al-Syi’ah 7/347, al-Hada’iq al-Nadhirah 13/377, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/474)

4. Muhammad bin Muslim bin Zurarah bin A’yun pernah bertanya kepada Abu Ja’far al-Baqir alaihissalam tentang Puasa Asyura, lalu ia menjawab:

كان صومه قبل شهر رمضان فلما نزل شهر رمضان ترك

Dahulu ia dilaksanakan sebelum bulan Ramadhan, namun ketika turun (kewajiban puasa) bulan Ramadhan, maka ia pun ditinggalkan (baca: tidak wajib lagi).”

Kemudian juga dinukilkan dari rujukan-rujukan di atas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إن أفضل الصلاة بعد صلاة الفريضة الصلاة في جوف الليل , وإن أفضل الصيام

من بعد شهر رمضان صوم شهر الله الذي يدعونه المحرم

“Sesungguhnya shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di tengah malam. Dan sungguh puasa terbaik setelah (puasa) bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah yang mereka sebut (sebagai) Muharram.”

Jadi inilah perkataan para imam yang telah demikian jelas disebutkan dalam rujukan-rujukan utama Syiah. Sanadnya jelas, demikian pula para perawinya. Inilah kitab-kitabnya, dan inilah ucapan serta para imam yang mulia itu. Lalu masih adakah orang berakal yang akan mengatakan: bahwa Puasa Asyura itu adalah sebuah bid’ah dan kesesatan??!

Puasa Asyura adalah sunnah di setiap tahunnya.

“Dan sungguh telah ada dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian.” (al-Ahzab: 21)

Mungkin ada yang akan berani mengatakan: “Sanad hadits ini mengandung ‘illat (penyakit), hadits ini lemah!” Ini sama sekali tidak aneh. Karena ini adalah muslihat kuno dan jalan yang sesat.

Namun sebuah hati yang jujur dan tulus akan terus berjalan di alam raya ini… ia berjalan… penuh semangat… terus mencari kebenaran.

Hati yang beriman akan selalu merdeka dan terbebaskan. Ia tidak akan meninggalkan kebenaran meski teriakan-teriakan memenuhi pendengarannya… meski begitu banyak tekanan dan ancaman yang mengintainya… Itu semua sama sekali tidak bernilai apa-apa baginya. Karena ia selalu mencari kebenaran, melintasi ruang dan waktu.

UNGKAPAN-UNGKAPAN PARA IMAM AHLUL BAIT TENTANG PAHALA PUASA ‘ASYURA

Wahai para pecinta Ahlul Bait!

Kini telah tiba saatnya bagimu untuk mulai meraba jalanmu, berlari menuju Allah, bersimpuh di hadapanNya, memohon pertolongan hanya padaNya, bersandar dan bertawakkal hanya padaNya, serta meminta padaNya dengan hati yang tunduk dan air mata yang menetes, agar Ia memperlihatkan kebenaran untukmu dan mengaruniakan kekuatan padamu untuk mengikutinya.

Mintalah agar Ia menunjukkan jalan yang lurus kepadamu; yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang yang sesat lagi dimurkai. Carilah Sunnah Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Imam kita, ‘Ali alaihissalam tentang Puasa Asyura yang menghapuskan dosa:

Dari ‘Ali alaihissalam, ia berkata:

صوموا يوم عاشوراء التاسع والعاشر احتياطاً، فإنه كفارة السنة التي قبله، وإن لم

يعلم به أحدكم حتى يأكل فليتم صومه

“Berpuasalah kalian pada hari Asyura, (hari) ke 9 dan ke 10 untuk berjagajaga, karena ia akan menjadi penghapus dosa bagi tahun sebelumnya. Dan jika seorang dari kalian tidak mengetahuinya sampai ia makan, maka hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya.” (Lih. Mustadrak al-Wasa’il 1/594, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/475)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

إذا رأيت هلال المحرم فاعدد، فإذا أصبحت من تاسعه فأصبح صائماً قلت ( أي

الراوي):كذلك كان يصوم محمد صلى الله عليه وآله؟ قال: نعم

“Apabila engkau melihat hilal bulan Muharram, maka bersiaplah (berhitunglah). Maka bila engkau telah tiba di pagi hari kesembilannya, maka masukilah pagi itu dalam keadaan berpuasa. Saya (perawi) bertanya: ‘Seperti itukah dahulu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa?’ Ia menjawab: ‘Iya’.” (Lih. Iqbal al-A’mal hal. 554, Wasa’il al-Syi’ah 7/347, Mustadrak al-Wasa’il 1/594, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/475)

Perhatikanlah bahwa riwayat-riwayat Puasa Asyura justru datang dari jalur-jalur sanad yang mu’tabar (dipercaya) di kalangan Syiah. Sementara riwayat-riwayat yang menyebutkan pelarangannya justru datang melalui jalur sanad yang lemah. Dan hal ini telah diakui oleh Syekh al-Haj al-Sayyid Muhammad Ridha al-Husainy al-Hairy dalam bukunya, Najat al-Ummah fi Iqamah al-‘Aza’ ‘ala al-Husain wa al-Aimmah (Cetakan Qum, Iran, 1413 H, hal, 145-146, 148)

Hadits-hadits Syiah yang menjelaskan bahwa Puasa Asyura terlarang karena “Ibnu Mirjanah, Alu Ziyad dan orang-orang Syam” berpuasa di hari itu untuk mengungkapkan kegembiraan mereka atas kematian al-Husain alaihissalam jelas merupakan riwayat-riwayat yang harus dikritisi.

Riwayat-riwayat ini bertentang dengan dalil-dalil naqli dan argumentasi rasional.

Secara naqli, jelas sekali ia bertentangan dengan riwayat-riwayat shahih dari para imam Ahlul Bait yang disebutkan di atas.

Secara rasional, pensyariatan Puasa Asyura terjadi jauh sebelum terbunuhnya al- Husain alaihissalam.

Itulah sebabnya, al-Muhaqqiq Syekh Muhammad Ja’far Syams al-Din mengatakan dalam Hasyiyah-nya setelah menyebutkan hadits yang diriwayatkan ‘Abd al-Malik saat ia bertanya kepada Abu ‘Abdillah alaihissalam tentang Asyura: “Hadits ini dhaif menurut pandangan yang masyhur.”

MERENUNGLAH SEJENAK! BERPIKIRLAH SEBENTAR!

Saudaraku…

Apakah setelah semua penjelasan ini: engkau masih lebih mengedepankan perkataan manusia atau perkataan Sayyid (pemimpin) mereka, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Siapa pun yang menginginkan surga, maka ia tidak akan mengikuti apapun selain kebenaran, meskipun ia harus menyelisihi seluruh manusia di bumi ini!

‘Menghidupkan’ Hari Kematian al-Husain alaihissalam?

Seharusnya Kita Juga ‘Menghidupkan’ Hari Kematian Sosok yang Lebih Mulia Darinya!

Sesungguhnya kematian al-Husain alaihissalam adalah musibah. Bahkan musibah yang teramat besar. Tapi lebih daripada itu adalah kematian Imam ‘Ali alaihissalam. Bahkan yang lebih lagi daripada itu adalah kematian Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam!

Tetapi…

Mengapa kita tidak ‘menghidupkan’ hari kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah itu lebih besar dan berat dari terbunuhnya al-Husain alaihissalam?

Mengapa al-Hasan dan al-Husain tidak melakukan perayaan duka tahunan atas kematian ayahanda mereka, Imam Ali alaihissalam? Bukankah beliau lebih baik dari al-Hasan dan al-Husain??

Tidakkah ini menggelitik nalar dan nuranimu untuk segera menyadari bagaimana jerat sorban-sorban hitam itu memintal bid’ah dan kesesatan di kepalamu??

Apa yang Seharusnya Engkau Lakukan Saat Ditimpa Musibah?

Menjadi kewajiban seorang muslim saat mendapatkan musibah untuk mengatakan dan melakukan apa yang dikatakan Allah dalam Firman-Nya:

“Orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepadaNya akan kembali.’” (al-Baqarah: 156)

Lalu Imam Ali alaihissalam mengatakan:

من ضرب فخذه عند مصيبة فقد حبط عمله

“Barang siapa yang memukul-mukul pahanya ketika ditimpa musibah, maka sungguh telah terputus amalnya.” (Lih. Nahj al-Balaghah 4/34)

Ja’far al-Shadiq alaihissalam juga mengatakan:

من ضرب يده على فخذه عند المصيبة فقد حبط أجره

“Barang siapa yang memukul-mukulkan tangannya ke pahanya saat (mendapatkan) musibah, maka sungguh telah putus pahalanya.” (Lih. Wasa’il al-Syi’ah 7/347, al-Hada’iq al-Nadhirah 13/377, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 9/474)

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang melakukan lebih dari itu semua saat ‘merayakan’ Hari Asyura?

Bagaimana dengan mereka yang meraung-raung kesetanan saat itu?

Apakah semua itu adalah ajaran para Imam Ahlul Bait?

Demi Allah, berikanlah satu dalil saja untuk membuktikan jika perayaan dan ratapan itu adalah sunnah para Imam Ahlul Bait!

Sikap Seorang Mukmin atas Terbunuhnya Imam al-Husain alaihissalam

Ingatlah selalu bahwa Imam al-Husain –semoga Allah selalu meridhai dan merahmatinya- adalah seorang syahid, dan bahwa musibah kematian yang menimpanya adalah sesuatu yang telah ditakdirkan dan ditulis oleh Allah Ta’ala.

Ingatlah pula bahwa semua ratapan dan apapun yang kau lakukan atas kematiannya sama sekali tidak akan mengubah apa pun yang telah ditakdirkan-Nya.

Kesyahidannya telah berlalu ratusan tahun yang lalu, sehingga kemarahanmu tidak akan mengubah apa pun.

Jadi yang harus engkau lakukan sekarang adalah bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Sang Penciptanya.

Diriwayatkan dari Yahya bin Khalid:

Ada seorang pria datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya: “Apakah yang dapat memutuskan pahala saat musibah?” Maka beliau pun menjawab:

تصفيق الرجل يمينه على شماله , والصبر عند الصدمة الأولى , من رضي فله

الرضا , ومن سخط فله السخط

“Tepukan tangan kanan seseorang ke tangan kirinya. Dan kesabaran itu (terbukti) ketika hantaman/timpaan (musibah) pertama kali. Maka barang siapa yang ridha, maka baginya keridhaan (Allah). Namun siapa yang marah (kecewa), maka baginya kemurkaan (Allah).”

Beliau juga bersabda:

أنا بريء ممن حلق و صلق ورفع صوته

“Aku berlepas diri dari orang yang mencukur rambut dan bulunya serta mengeraskan suaranya (saat musibah-pent).” (Lih. Jami’ Ahadits al-Syi’ah 3/489, Mustadrak al-Wasa’il 1/144)

Dalam keterangan lain, disebutkan dari Imam Ali alaihissalam:

ثلاث من أعمال الجاهلية لا يزال فيها الناس حتى تقوم الساعة: الاستسقاء

بالنجوم، والطعن في الأنساب، والنياحة على الموتى

“Ada tiga yang termasuk amalan-amalan Jahiliyah yang masih selalu dilakukan manusia hingga Hari Kiamat terjadi: meminta hujan kepada bintangbintang, mencela/melontarkan tuduhan pada nasab orang lain dan meratapi orang-orang yang telah meninggal dunia.” (Lih. Bihar al-Anwar 82/101, Mustadrak al- Wasa’il 1/134-144, Jami’ Ahadits al-Syi’ah 3/488)

Demikianlah…

Semoga engkau sadar bahwa mereka hanya memperbodohkanmu atas nama Ahlul Bait… Mereka bukanlah pengikut Ahlul Bait… Jika tidak percaya, tanyakanlah kepada mereka: dari mana mereka tahu bahwa ajaran yang mereka perintahkan padamu benar-benar terbukti dari Ahlul Bait?

Semoga Allah mengumpulkan kita semua bersama Rasulullah, para Ahlul Bait dan para pecintanya di dalam Surga.[]

Sumber: kuliahislamonline.com

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author