Bukan Salafi Karena Beda Guru Ngaji?!!
Sebagian kalangan bermudah-mudah dalam menilai seorang itu ahli sunnah ataukah bukan. Seakan-akan ahli sunnah itu perusahaan pribadinya sehingga siapa yang dia sukai itulah ahli sunnah. Namun ketika dia tidak lagi dia sukai maka dia keluarkan orang tersebut dari ahli sunnah.
Benarkah sikap semacam ini. Temukan jawabannya dalam tulisan ini.
Tentang masalah ini terdapat penjelasan yang sangat bagus yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz ar Rais, seorang ulama ahli sunnah dari Riyadh Saudi Arabia. Pada awal bulan Muharram 1428, Masjid al Khalil Ibrahim yang terletak di Dubai, Emirat Arab, beliau menyampaikan sebuah ceramah ilmiah yang berjudul Tamassuk bis Sunnah yang artinya berpegang teguh dengan sunnah. Dalam ceramah tersebut tepatnya pada menit 9:26-16:13, beliau menyampaikan bahasan tentang kapankah seorang itu divonis sebagai ahli bid’ah dan tidak lagi menjadi ahli sunnah atau salafi. Rekaman ceramah tersebut ada pada kami yang diambil dari www.al-sunna.net.
Berikut ini transkrip dari bagian ceramah beliau tentang kapankah seorang itu dinilai sebagai ahli bid’ah. Moga bermanfaat.
“Di antara hal yang perlu diketahui karena hal tersebut termasuk perkara yang sangat penting dan sangat vital untuk diketahui. Hal tersebut adalah kapankah seorang itu dinilai keluar dari ahli sunnah dan divonis sebagai ahli bid’ah. Sesungguhnya mengeluarkan seseorang dari golongan ahli sunnah dan memvonisnya sebagai ahli bid’ah adalah suatu perkara yang berat.
Dalam kitab as Sunnah karya al Khallal, Imam Ahmad mengatakan,
“Mengeluarkan seseorang dari golongan ahli sunnah adalah suatu perkara yang berat”.
Bukanlah termasuk perkara yang mudah mengeluarkan seseorang dari barisan ahli sunnah dan memvonisnya sebagai ahli bid’ah.
Akan tetapi sulitnya hal ini bukanlah berarti hal ini tidak pernah terjadi. Bahkan hal ini bisa saja terjadi jika orang tersebut melakukan suatu hal yang mengeluarkannya dari barisan ahli sunnah.
Juga di antara hal yang perlu diketahui bahwa tidaklah semua orang yang melakukan hal yang bid’ah itu otomatis divonis sebagai ahli bid’ah.
Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Qadhi Syuraih itu melakukan perbuatan menyelewengkan makna salah satu sifat Allah yaitu heran. Beliau mengingkari qiraah ‘bal ‘ajibtu’ yang artinya ‘bahkan aku yaitu Allah merasa heran’. Meski demikian beliau adalah salah satu imam ahli sunnah dengan sepakat semua ahli sunnah”.
Perhatikanlah! Qadhi Syuraih telah terjerumus dalam kesalahan dan telah melakukan bid’ah meski demikian bidah yang beliau lakukan tersebut tidak mengeluarkan beliau dari barisan ahli sunnah.
Kaedah ini sangat sering disebutkan oleh Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah dan para imam Islam yang lain.
Kaedah ini juga disebutkan oleh tiga imam ahli sunnah di zaman ini yaitu Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Imam Muhammad Nashiruddin al Albani dan Imam Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau-beliau berulang kali menyebutkan kaedah ini dalam berbagai kesempatan.
Jika hal ini telah kita ketahui yaitu terjerumusnya seseorang ke dalam tidaklah mesti menjadikan orang tersebut sebagai ahli bid’ah. Sebaliknya terkadang seorang itu divonis keluar dari barisan ahli sunnah gara-gara dia terjerumus dalam bid’ah.
Jika demikian, apa yang menjadi tolak ukur dalam hal ini?
Parameter dalam hal ini ada dua.
Pertama, kaedah yang disampaikan oleh seorang ulama bermazhab Maliki yaitu Syathibi dalam kitabnya al I’tishom tatkala membahas kapankah sebuah kelompok divonis telah keluar dari ‘golongan yang selamat’ sehingga termasuk bagian dari tujuh puluh dua golongan yang sesat.
Beliau mengatakan,
“Itu terjadi jika kelompok tersebuk menyelisihi ahli sunnah dalam perkara kulli (perkara yang memuat banyak derivat)”.
Artinya orang yang menyelisihi ahli sunnah dalam perkara juz’i atau parsial (perkara yang tidak memiliki derivat) itu tidak dinilai keluar dari ahli sunnah dan menjadi ahli bid’ah. Seorang itu dinilai keluar dari ahli sunnah jika menyelisihi ahli sunnah dalam perkara kulli.
Syathibi juga menyebutkan bahwa jika seorang itu menyelisihi ahli sunnah dalam banyak perkara juz’i yang sebanding dengan sebuah perkara kulli maka orang tersebut juga dinilai telah keluar dari ahli sunnah.
Yang penting dari penjelasan Syathibi dan yang dijadikan pegangan adalah penjelasan beliau yang pertama. Yaitu jika seseorang itu menyelisihi ahli sunnah dalam perkara kulli maka dia dinilai keluar dari barisan ahli sunnah. Vonis ini tidak berlaku untuk orang yang menyelisihi ahli sunnah dalam perkara juz’i.
Jika ada yang bertanya apa yang dimaksud dengan perkara kulli dan perkara juz’i maka jawaban adalah sebagai berikut.
Perkara kulli adalah perkara yang membuat banyak perkara juz’i.
Misalnya adalah orang yang mentakwil (menyelewengkan makna) semua sifat fi’liyyah bagi Allah. (Sifat fi’liyyah adalah sifat yang ada pada Allah jika Allah mau dan tidak ada pada Allah jika Allah tidak menghendakinya, pent). Orang yang melakukan hal ini telah terjerumus dalam kesalahan yang bersifat kulli. Dengan tindakkannya ini maka dia berarti menolak sifat rela, marah, kasih sayang dll yang masuk dalam kategori sifat fi’liyyah. Oleh karena itu, orang tersebut dinilai telah menyelisihi ahli sunnah dalam perkara yang bersifat kulli.
Sedangkan orang yang menyelewengkan sifat heran untuk Allah atau sebuah sifat Allah yang lain maka orang tersebut telah terjerumus dalam kesalahan parsial karena kesalahan semisal ini tidak memiliki banyak turunan.
Parameter kedua adalah kaedah yang disebutkan oleh Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah di Majmu’ Fatawa. Beliau mendapatkan pertanyaan kapankan seorang itu divonis telah keluar dari ahli sunnah dan menjadi ahli bid’ah. Beliau memberikan penjelasan panjang. Di antara yang beliau jelaskan adalah jika ada seseorang yang menyelisihi ahli sunnah dalam suatu perkara yang terkenal sebagai pembeda antara ahli sunnah dengan ahli bid’ah maka orang tersebut adalah ahli bid’ah. Sekali lagi, jika seorang itu menyelisihi ahli sunnah dalam sebuah perkara parsial namun perkara tersebut terkenal sebagai pembeda antara ahli sunnah dan ahli bid’ah maka orang tersebut divonis sebagai ahli bid’ah dan orang yang sesat.
Contohnya adalah orang yang punya pendapat membolehkan pemberontakan terhadap penguasa muslim yang zalim. Orang ini dinilai sebagai ahli bid’ah disebabkan dia telah menyelisihi ahli sunnah dalam sebuah perkara yang terkenal sebagai pembeda antara ahli sunnah dengan ahli bid’ah.
Oleh sebab itu, Imam Ahmad dan Imam Sufyan bin Said bin Masruq ats Tsauri menegaskan bahwa al Hasan bin Shalih al Huyai itu ahli bid’ah. Hal ini dikarenakan dia membolehkan pemberontakan terhadap penguasa muslim.
Dalam kitab as Siyar adz Dzahabi menyebutkan bahwa al Hasan ini belum pernah memberontak. Dia hanya membolehkan pemberontakan dan tidak mau sholat Jumat dengan bermakmum di belakang penguasa yang zalim. Meski demikian dua imam ahli sunnah di atas menyatakan secara tegas bahwa orang itu ahli bid’ah.
Praktik imam ahli sunnah di atas menunjukkan bahwa jika ada seorang yang menyelisihi ahli sunnah dalam perkara parsial namun perkara parsial tersebut terkenal sebagai pembeda antara ahli sunnah dan ahli bid’ah maka orang tersebut dinilai sebagai ahli bid’ah.
Dengan dua tola ukur di atas seorang itu bisa dinilai keluar dari barisan ahli sunnah dan menjadi ahli bid’ah.
Jika hal ini telah anda ketahui dan anda pahami dengan baik maka penjelasan di atas mengharuskan kita untuk bersikap waspada dan berjalan mengikuti langkah para ulama. Sehingga masalah vonis bid’ah tidak menjadi bahan permainan semua orang akhirnya semua orang bisa menuduh sembarang orang sebagai ahli bid’ah.
Orang yang hendak memvonis orang lain sebagai ahli bid’ah hanya boleh berbicara berdasarkan kaedah-kaedah yang telah dirumuskan oleh para ulama serta bertitik tolak dari dari panduan para ulama. Dengan demikian tidak akan ada kesemrawutan dalam masalah ini.
Terkadang ada seorang yang berani mengeluarkan seseorang dari ahli sunnah karena sebuah permasalahan padahal jika kita telaah permasalahan tersebut ternyata masalah itu adalah permasalahan yang ada ruang untuk berbeda pendapat di dalamnya. Tidak boleh ada vonis ahli bid’ah dalam masalah seperti ini”.
Sampai di sini penjelasan Syeikh Abdul Aziz ar Rais.
Benar apa yang beliau katakan. Tidak sedikit kita jumpai orang yang memvonis orang lain sebagai ahli bid’ah atau hizbi itu menjawab tidak tahu jika kita tanya apa parameter untuk mengeluarkan seorang dari barisan ahli sunnah.
Bahkan setelah diselidiki ternyata vonis tersebut keluar dikarenakan perbedaan yayasan atau menyikapi yayasan tertentu atau guru ngaji atau tempat ngaji atau majalah yang rajin dibaca dan pelajari. Innaa lillahi wa innaa ilahi raji’un.
Sungguh beda orang yang bertindak dan menilai dengan dasar ilmu dan orang yang bertindak dan menilai dengan sekedar dasar perasaan.
Sumber: https://ustadzaris.com/bukan-salafi-karena-beda-guru-ngaji