Bersikap Pertengahan dalam Berdakwah
Nasehat Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah
Sesungguhnya dakwah ilallah adalah dakwah kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan mengantarkan kepada kemuliaanNya. Dan dakwah para rasul itu berkaitan dengan tiga hal:
Pertama, mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan asma’ dan shifat-Nya. Kedua, mengenal syariatNya yang dapat menyampaikan kepada kemuliaanNya. Ketiga, mengenal pahala yang diperoleh orang-orang yang ta’at dan siksaan yang diperoleh orang-orang yang durhaka.
Dan dakwah ilallah adalah salah satu rukun amal-amal shalih yang keuntungannya tidak akan sempurna kecuali dengannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
Maka sesungguhnya saling berwasiat dengan kebenaran itu mengharuskan adanya dakwah kepada kebenaran itu. Dan saling berwasiat dengan kesabaran itu mengharuskan adanya kesabaran terhadap agama Allah dalam persoalan ushul maupun furu‘nya.
Sesungguhnya dakwah ilallah sekarang ini -dan akan terus demikian- berada di antara dua sisi: pertama, Al-Ifrath (berlebih-lebihan), dan kedua, Tafrith (menganggap remeh menggampang-gampangkan)
Berlebih-lebihan (al-Ifrath).
Dimana sang dai bersikap keras dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia menghendaki agar semua hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala melaksanakan semua ajaran agama ini sampai ke ujung-ujungnya, tanpa memberikan kelonggaran pada hal-hal yang diberikan kelonggaran oleh agama. Bahkan bila dia melihat orang yang melakukan pengurangan (taqshir) walaupun dalam perkara-perkara yang sunnah (mustahabbah) ia akan merasa sangat terusik hingga ia pun mendakwahi orang-orang tersebut dengan dakwah yang keras lagi kaku seolah-olah mereka telah meninggalkan perkara-perkara yang wajib.
Di antara contoh atas hal tersebut adalah:
Contoh pertama, seseorang yang melihat sekelompok orang yang tidak duduk terlebih dahulu ketika akan bangkit menuju raka’at kedua utau ketika bangkit menuju raka’at keempat. Dan inilah yang disebut oleh para ulama dengan: jilsah al-istirahah (duduk istirahat). Padahal (orang ini memandang bahwa hal ini merupakan sunnah, namun jika ia melihat orang yang tidak melakukannya ia akan bertanya: kenapa engkau tidak melakukannya? Dan ia pun berbicara tentang persolan ini dan nampak dari pembicaraannya seolah-olah ia memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajib. Padahal sebagian ulama telah menghikayatkan ijma’ (para ulama) bahwa duduk tersebut tidaklah wajib, dan bahwa perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini berputar pada tiga pendapat: Pendapat pertama, bahwa duduk ini adalah sunnah secara mutlak. Pendapat kedua, bahwa duduk ini tidaklah sunnah secara mutlak. Pendapat ketiga, bahwa duduk ini sunnah bagi orang yang membutuhkannya agar tidak memberatkan dirinya, seperti orang tua, sakit dan orang yang merasa sakit pada lututnya, atau yang semacamnya. Lalu muncullah sebagian orang yang bersikap keras dan menjadikan hal ini seperti sesuatu yang wajib.
Contoh kedua, ada sebagian orang yang melihat seseorang yang bila bangun dari ruku’ dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (di atas dada -pen) maka ia akan mengatakan: “Engkau adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah), engkau harus melepaskan tanganmu sebab jika engkau meletakkannya di atas dada maka hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah dan mungkar.” Padahal masalah ini termasuk masalah ijtihadiyah. Dan boleh jadi dalil yang ada justru berada di pihak orang yang mengatakan bahwa kedua tangan itu diletakkan di atas dada setelah ruku’ sebagaimana sebelumnya (sebelum ruku’ -pen) juga diletakkan di atas dada; karena inilah yang menjadi konsekwensi dan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Sahi bin Sa’d Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
“Adalah manusia (para sahabat-pen) diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya dalam shalat”.1
Contoh ketiga; demikian pula ada sebagian orang yang mengingkari orang yang mengerjakan shalat lalu melakukan gerakan sedikit apapun, walaupun gerakan tersebut termasuk gerakan yang dibolehkan dan telah terdapat dalam As-Sunnah hal yang serupa dengannya atau bahkan lebih daripadanya. Maka anda mendapati orang tersebut sangat mengingkarinya hingga ia menjadikan hal ini sebagai jalan untuk mencari-cari kesalahan orang lain, padahal -seperti yang telah dijelaskan- gerakan ini adalah gerakan yang mubah dan boleh dilakukan (sebab) gerakan yang serupa bahkan yang lebih darinya terdapat dalam syariat Nabi. Dan ini (salah satu bentuk) perilaku berlebih-lebihan.
Abu Juhaifah pada suatu ketika pernah mengerjakan shalat seraya memegang tali kekang kudanya dengan tangannya. Lalu kudanya bergerak maju (ke depan), maka Abu Juhaifah pun mengikutinya sedikit demi sedikit sambil tetap mengerjakan shalat. (Hal itu dilakukan) hingga shalatnya selesai. Maka ada seseorang -yang termasuk dalam kategori berperilaku berlebih-lebihan- yang menyaksikan beliau, lalu iapun berkata: “Lihatlah kepada laki-laki ini! Lihatlah kepada laki-laki ini! Lihatlah kepada laki-laki ini!” Padahal Abu Juhaifah adalah seorang sahabat yang mulia. Maka ketika beliau mengucapkan salam, beliau pun menjelaskan kepada orang tersebut bahwa gerakan seperti ini boleh dilakukan dan jika ia membiarkan kudanya (berjalan) maka ia tidak akan dapat menemukannya hingga malam. Maka lihatIah pemahaman terhadap syariat dan sikap lapang serta kemudahan di dalamnya.
Nabi pernah mengerjakan shalat bersama sahabat-sahabat beliau seraya menggendong Umamah binti Zainab putri Rasulullah -yakni cucu beliau-, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memimpin shalat sambil menggendong anak itu; jika beliau berdiri beliau menggendongnya dan bila beliau sujud beliau meletakkannya.2
Ini menunjukkan adanya gerakan (selain gerakan shalat-pen), dan kelemahlembutan terhadap anak kecil, dan (juga menunjukkan) bahwa sebagian sahabat terkadang melihat apa yang dilakukan Rasulullah terhadap anak itu. Namun walau demikian, Nabi telah melakukan hal tersebut, padahal beliau merupakan manusia paling bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang paling mengetahui cara bertakwa padaNya.
Contoh keempat; beberapa orang dan sahabat Rasulullah pernah berkumpul, lalu mereka mempertanyakan amalan beliau yang tersembunyi maka merekapun diberitahu akan hal itu. Maka mereka menganggap amalan Rasulullah itu sedikit, dan mereka berkata: “Sesunggubnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu telah diampuni dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang, akan tetapi kita ini membutuhkan amalan yang lebih banyak (dari amalan beliau) agar Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosa kita.” Maka berkata salah seorang dan mereka: “Adapun saya maka saya akan berpuasa dan tidak berbuka.” Lalu yang kedua berkata: “Saya akan melakukan qiyamullail dan tidak pernah tidur.” Dan yang ketiga berkata: “Saya tidak akan menikahi wanita.” Maka sampailah kabar tentang mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau berkata:
“Adapun saya maka saya berpuasa dan berbuka, saya bangun, malam dan saya (juga) tidur, dan sayapun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku”3
Semuanya ini menunjukkan bahwa tidak seyogyanya kita -bahkan tidak dibolehkan- berlebih-lebihan dalam agama Allah baik dalam mengajak orang lain ke dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala atau dalam amalan-amalan yang khusus buat kita. Bahkan kita hendaknya bersikap pertengahan dan istiqamah sebagaimana yang diperintahkan Allah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada sahabat-sahabat beliau:
“Janganlah kalian menghormatiku sebagaimana orang-orang nasrani menghormat ‘Isa bin Maryam.”4
Dan beliau pernah mengambil beberapa buah batu kecil dalam perjalanan dan Muzdalifah menuju Mina, beliau mengambil batu-batu kecil dengan tangan beliau lalu berkata:
“Wahai sekalian manusia! Dengan batu yang (sebesar) inilah hendaknya kalian melempar, dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama ini.”5
Tafrith (Menganggap remeh/Menggampang-gampangkan)
Adapula orang yang menganggap remeh persoalan dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga anda akan menemukannya memperoleh kesempatan yang baik dan kondisi yang tepat untuk berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala namun ia menyia-nyiakannya begitu saja. Terkadang ia menyia-nyiakannya karena setan membisikinya bahwa ini bukanlah waktunya berdakwah, atau bahwa orang-orang yang di dakwahi itu tidak akan mau menerima dakwahmu, atau (bisikan-bisikan) serupa yang dapat menjatuhkan (semangat) yang dibisikkan oleh setan ke dalam hatinya, Sehingga menyebabkan ia melewatkan kesempatan tersebut.
Sebagian orang bila menyaksikan seseorang yang menyimpang pada suatu maksiat baik berupa meninggalkan perintah atau melakukan yang diharamkan, maka ia membenci, menjelek-jelekkan, menjauhi dan merasa putus asa untuk memperbaikinya. Ini adalah suatu masalah, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada kita untuk bersabar dan ber-ihtisab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka…” (Al-Ahqaf: 35)
Maka setiap orang wajib bersabar dan ber-ihtisab walaupun ia meIihat dirinya sedikit mempunyai kemarahan, hendaknya ia menjadikan kemarahan tersebut karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika jarinya berdarah dalam medan jihad beliau berkata:
“Tidaklah engkau melainkan sebuah jari yang berdarah apa yang engkau rasakan ini adalah di jalan Allah”6
Akan tetapi kondisi ini berbeda sekali dengan kondisi orang yang pertama, yang walaupun ia melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya namun ketika ia mendapati perbuatan yang menyimpang dan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini ia sama sekali tidak mengajak manusia untuk istiqamah, meninggalkan maksiat maupun ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bahkan kita sering mendengar sebagian orang mengatakan bahwa kita wajib menjadikan umat Islam yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan menghadapkan shalatnya ke kiblat sebagai satu kelompok yang tidak memiliki perbedaan, tidak dibedakan antara pelaku bid’ah dengan penegak sunnah. Hal ini tidak diragukan lagi suatu kesalahan dan bahaya; karena Al-Haq haruslah berbeda dari kebatilan, dan para penegak kebenaran haruslah berbeda dari pelaku kebatilan, hingga menjadi jelas (antara yang haq dan yang batil). Adapun jika semua manusia bercampur aduk dan berkata: “Kita semua di bawah naungan Islam”, sementara sebagian mereka berada di atas bid’ah yang boleh jadi telah mengeluarkannya dan Islam, maka hal ini tidaklah diridhai oleh siapapun yang ingin memberi nasehat kepada Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum awam mereka.7
Terdapat pula sebagian orang yang sanggup berdakwah kepada Allah dengan ilmu dan bashirah yang mereka miliki, dan mereka menyaksikan manusia melakukan berbagai pelanggaran, akan tetapi mereka terhalangi karena khawatir dicela atau dibicarakan oleh manusia jika mereka mengatakan yang haq, sehingga kita akan menemukan mereka menyia-nyiakan dan meremehkan tugas dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sumber: ash Shohwatul al Islamiyah; Dhawabith wa Taujihat, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
1 HR. Al-Bukhari No. 740 dalam kitab Al-Adzaan
2 HR. Al-Bukhari no. 516 dalam kitab Ash-Shalaah. dan juga beliau keluarkan dengan no. 5996 dari hadits Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
3 Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5063 dalam kitab An-Nikaah dan Muslim no. 1401 dalam kitab An-Nikaah dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
4 HR. Al-Bukhari no. 3445 dalam kitab Al-Anbiya’ dari hadits Ibnu Abbas dari Umar radhiyallahu ‘anhu
5 Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasai no. (3095)-/268, dan Ibnu Majah no. 3029 serta Ahmad dalam musnad-nya 1/215, 347 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
6 HR. Al Bukhari no. 2802 dalam kitab Al-Jihaad wa As-Sair dan Muslim no. 1796 dalam kitab Al-Jihaad dari hadits Jundub bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu
7 Berdasarkan hadits yang telah ditakhrij sebelumnya