Bekal Muslim dalam Mencari Rezeki
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوٰلَكُم بَيْنَكُم بِالْبٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An- Nisaa’ : 29)
Ayat di atas memberi penjelasan kepada kita, bagaimana mencari rezki yang halal. Apa yang kita lakukan di muka bumi ini termasuk di dalamnya mencari harta, akan dimintai pertanggungjawaban di hari kemudian. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat tersebut kepada kita agar menjadi tuntunan dan pedoman dalam hidup kita.
Berkenaan dengan ayat tersebut sebagian ulama mengatakan: “Ada harta yang kita peroleh ini halal artinya bersih. Maka ada beberapa hal yang harus kita perhatikan sebelum kita mencari rezeki atau nafkah, yakni:
Pertama; التفقه في الدين (memahami agama), artinya pekerjaan yang kita lakukan, kita harus tahu hukum Allah pada pekerjaan itu. Apakah pekerjaan yang kita lakukan itu halal atau tidak? Kalau kita sebagai pegawai negeri misalnya, kita harus pastikan apakah pegawai negeri ini tidak bertentangan dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kalau kita sebagai pedagang, kita harus tahu bahwa apakah dagangan yang kita dagangkan ini adalah dagangan yang tidak bertentangan dengan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau menjadi khalifah, dia naik ke atas mimbar Nabi, dan mengatakan:
لا يبيع في سوقنا إلا من تفقه في الدين
“Tidak boleh ada yang menjual di pasar kami, kecuali dia sudah mengerti agama”
Maksudnya, tidak boleh ada yang berdagang, kecuali dia harus paham, bahwa dagangan yang ia jual itu, adalah dagangan yang tidak bertentangan dengan agama Allah. Sebelum lebih jauh melangkah dalam mencari rezki, kita harus mengetahui dulu pekerjaan itu. Halal apa tidak pekerjaan ini? Sebab kapan tidak halal, maka hasil yang kita dapatkan juga pastinya haram. Kita harus khawatir terhadap apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Setiap daging yang tumbuh daripada yang haram, maka api neraka lebih layak dengannya.” (Hadis At-Thabarani)
Sebagai seorang muslim, kita berprinsip bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, tujuan hidup adalah negeri akhirat yang kekal abadi.
Yang kedua, adalah الإبتعاد عن الغش (menjauhi unsur-unsur penipuan) dalam pekerjaan yang kita lakukan. Tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hari, dia masuk ke dalam pasar, dia melihat-lihat pasar lalu kemudian berhenti di salah satu penjual yang menjual sembako lalu kemudian Nabi memasukkan tangannya di gandum. Lalu Nabi mendapati gandum yang di bawah basah sementara gandum yang di atas itu kering. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kenapa jualanmu yang di bawah basah, yang di atas kering? Penjual gandum itu mengatakan: “Ya Rasulullah, tadi malam hujan membasahi gandum saya ini. Maka supaya orang tertarik untuk membelinya maka saya tutupi yang basah itu dengan yang kering.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan:
من غشنا فليس منا
“Siapa yang menipu, maka itu bukan golongan kami”
Pekerjaan apapun yang kita lakukan kalau ada unsur penipuan di dalamnya, maka hasilnya pasti haram, dan itu akan berat pertanggungjawabannya di hari kemudian nanti.
Keberkahan Kejujuran
Umar bin Khaththab ketika ia menjadi khalifah, diantara kebiasaannya beliau berkeliling di malam hari di kota madinah untuk mencari orang-orang yang ada masalahnya di malam hari. Maka ketika beliau berjalan, dia mendengar ada dua suara perempuan, lalu beliau menghampiri rumah itu, gubuk itu rupanya kedua perempuan ini adalah perempuan penjual susu. Ibu perempuan itu, sang ibu mengatakan kepada putrinya, “Wahai putriku, campurlah susu kita dengan air, agar besok kita bisa mendapatkan keuntungan yang banyak. Karena tadi sore, kambing-kambing kita tidak banyak mengelurkan susu. Maka campurlah susu itu dengan air, supaya banyak keuntungannya nanti. Kata anak gadisnya, “Umar melarang, susu dicampur dengan air. Beliau marah kalau susu dicampur dengan air”. Kemudian ibunya berkata, “Campur saja! Toh Umar tidak mendengar kita dan tidak melihat kita” Mereka tidak tahu bahwa Umar sedang mendengarkan pembicaraannya dibalik gubuknya. “Campur saja!” lanjut kata ibu. Kata anak gadisnya, “Kalau Umar tidak melihat kita, Umar tidak mendengarkan pembicaraan kita, bagaimana dengan Tuhannya Umar bin Khaththab? Dia mendengarkan kita dan melihat kita.”
Umar kemudian pulang ke rumahnya, dan membangunkan semua anak laki-lakinya dan mengatakan, “Siapa yang mau menikah besok?” Seorang anaknya mengatakan, “Ya bapakku, saya yang siap ingin menikah, tapi dengan siapa saya menikah?” Kata Umar, “Kau tidak perlu tahu dengan siapa kamu menikah. Saya hanya tanya mau menikah apa tidak?” Esoknya, Umar membawa anak laki-lakinya itu bertandang ke rumah perempuan yang menjual susu, ia lalu menikahkan anak laki-lakinya dengan anak gadis penjual susu yang jujur itu. Perkawinan anak Umar dengan anak gadis penjual susu yang jujur ini itu lahir seorang perempuan lalu cucu Umar ini dinikahi oleh Abdul Aziz ibnu Marwan, gubernur Madinah. Dari pernikahan cucu Umar ini dengan Abdul Aziz ibnu Marwan lahirlah seorang khalifah yang bernama Umar bin Abdul Aziz.
Dalam riwayat disebutkan, beliau hanya memimpin menjadi khalifah selama dua tahun, tapi tahu tidak apa yang terjadi selama dua tahun ini? Sejarah mencatat dengan tinta emas. Selama dua tahun beliau memimpin, sudah sulit mencari orang-orang yang mau menerima zakat harta dan shadaqah. Disebutkan dalam riwayat di kota Damaskus itu orang menggotong zakat hartanya dan shadaqahnya, lalu berteriak ini ada zakat, ini ada shadaqah. Siapa yang mau menerimanya? Siapa yang mau mengambilnya? Tidak ada. Lebih banyak orang yang berhak mengeluarkan zakat daripada orang yang berhak menerima zakat. Padahal ini hanya dalam tempo dua tahun. Tidak butuh lima tahun, tidak butuh 2 periode, ia hanya butuh dua tahun!
Demikianlah keberkahan dari kejujuran dalam mencari rezki, dimana tidak hanya berdampak bagi kehidupan pribadi tapi juga untuk umat manusia.[laziswahdah.com]