Beda Akidah Takkan Ada Ukhuwah
Perbedaan Sunni dan Syiah bukan sekadar perbedaan khilafiyah, melainkan perbedaan prinsipil yang menyangkut akidah. Berbagai upaya merekatkan Sunni-Syi’ah, sebagai jembatan ukhuwah di antara keduanya. Bak mimpi di siang bolong, alias sulit tercapai.
Hal inilah yang dilakukan oleh segelintir pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia yang mendeklarasikan Majelis Ukhuwah Sunni-Syi’ah Indonesia (MUHSIN). Deklarasi sebagai upaya membangun ukhuwah antara Sunni-Syi’ah, yang kerap terjadi gesekan antara pengikutnya.
Sebagaimana diberitakan Republika.co.id sebelumnya, MUHSIN dideklarasikan sebelum salat Jumat (20/5) lalu di Masjid Akbar, Kemayoran, Jakarta, oleh Pengurus Pusat Dewan Mesjid Indonesia (DMI) yang mewakili Sunni dan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang mewakili Syi’ah. Anggota pengurus pusat DMI, Daud Poliradja, hadir dalam acara deklarasi tersebut.
Meski akhirnya, Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) membantah pihaknya terlibat dalam deklarasi Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia (MUHSIN). Dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Selasa (24/5), PP DMI mengatakan penandatanganan deklarasi tersebut tanpa sepengetahuan dan tidak mendapatkan rekomendasi dari PP DMI.
“Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia secara kelembagaan tidak membenarkan peroangan Pengurus Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia menandatangani sebuah deklarasi, Memorandum of Understanding (MoU), nota kesepakatan, kerjasama dan perjanjian-perjanjian lainnya tanpa surat mandat dari Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI),” tulis rilis yang ditandatangani Ketua Umum PP DMI, Prof KH Tarmizi Taher, itu.
Terlepas dari, bantahan dari keterlibatan PP DMI dalam deklarasi MUHSIN. Namun, yang perlu diketahui, gesekan-gesekan antara Sunni-Syi’ah yang kerap terjadi, sebagai dasar deklarasi lembaga tersebut. Bukanlah gesekan memperebutkan kader, perbedaan dalam metode dakwah, ataupun sejibun perbedaan khilafiyah lainnya. Melainkan perbedaan Sunni-Syi’ah, adalah perbedaan prinsipil, perbedaan yang menyangkut aqidah. Perbedaan ini, tidak mungkin dipersatukan, hanya sekadar mendeklarasikan sebuah lembaga atau organisasi.
Perbedaan Sunni-Syi’ah
Menurut Ketua MUI Pusat KH Amidhan, dari segi ajaran, antara Islam (Sunni) dan Syi’ah itu sangat berbeda. Syi’ah hanya menganggap ada lima Imam atau khalifah yang juga Ahlulbait atau keluarga Rasul. Lima orang itu yakni, pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (putri Rasul), Al Hasan dan Husein (anak dari Fatimah-Ali), dan Nabi Muhammad. Syiah hanya mengakui hadits-hadits yang diriwayatkan oleh lima Ahlulbait ini,”
Pengikut Syi’ah tidak mengakui tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan. Padahal, ketiga sahabat Rasulullah tersebut, yang menjadi tulang punggung Rasulullah dalam memperjuangkan Islam. Selain itu, keempatnya juga pelanjut kepemimpinan Islam yang melahirkan generasi terbaik Islam, yang menjayakan Islam. Islam pun dapat dinikmati sekian miliyar penduduk dunia saai ini.
Diantara sekian banyak perbedaan Syi’ah dengan Sunni, yang terparah adalah Syi’ah memiliki keyakinan yang menyimpan dari ajaran Islam. Syiah memiliki aqidah sesat dan nyeleneh, seperti;
1) Syi’ah menyakini Al-Qur’an telah diubah.
Syi’ah memiliki pemahaman bahwa sesungguhnya Al Qur’an yang lazim sekarang dibaca mayoritas Islam sudah tidak asli, telah mengalami perubahan, penggantian, penambahan, dan pengurangan. Alias tidak sama Al Qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, ditegaskan oleh Annury Ath- Thibrisi dalam bukunya “Fashul khitab fii tahrifi kitab Rabbil-Arbab. Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini berkata dalam bukunya “Ushulul-Kafi”.
Dalam kitab tersebut menyatakan bahwa yang mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an hanyalah para imam yang diriwayatkan dari Jabir, ia (Jabir) berkata saya mendengar Abu Ja’far berkata ”siapa yang mengaku telah mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukan seluruh isinya sebagaimana yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia seorang pendusta, tidak ada yang mengumpulkan dan yang menghapalkannya, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan Ali bin Abi Thalib, dan para imam sesudahnya.”
2) Kebencian kepada para Sahabat Nabi.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa Syi’ah sangat benci terhadap beberapa sahabat Rasulullah. Bahkan, Syi’ah tidak begitu mudah melakukan, pencacian, pencelaan dan pengkafiran terhadap sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satunya, diungkapkan oleh Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ul-Kaafi yang diriwayatkan dari Ja’far: “Semua sahabat sepeninggal Rasulullah murtad (keluar dari Islam) kecuali tiga, kemudian saya bertanya kepadanya: siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.”
Wahai kaum muslimin sanggupkah kita berukhuwah dengan orang yang mencaci bahkan mengkafirkan orang yang kita cintai?
3) Masalah kepemimpinan Umat.
Menurut Syi’ah, kepemimpinan atau imamah adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-’Aridhah, hal. 16-17)
Tidak hanya itu, para pemimpin mereka akui sebagai orang ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Baginya, umat Islam masih dalam keadaan kufur, sebab tidak meyakini Ali dan keturunannya sebagai imam yang suci. Dalam doktrin Syi’ah Ali bin Abi Thalib adalah imam suci yang pertama. Imam ini posisinya sama dengan nabi. Pendapat-pendatan mereka dinilai sebagai hadis. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meyakini ada dua belas imam yang maksum (terbebas dari kesalahan dan dosa).
Tentu saja pemahaman seperti tidaklah benar, sebab pemimpin adalah manusia biasa juga, yang tidak lepas dari dosa. Olehnya itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
Sebenarnya, masih banyak keyakinan Syiah yang menyimpan, yang diberbagai negara dianggap sesat, misalnya di Arab Saudi. Namun penjelasan di atas paling tidak memberi gambaran, bahwa Syiah dan Sunni sangat berbeda. Perbedaan tersebut coba dipaksakan untuk diterima oleh kalangan mayoritas Islam. Inilah yang menimbulkan bentrokan, seperti, di Iran, Bahrain. Termasuk di Indonesia juga mulai gesekan, kalau tidak di antisipasi bukan tidak mungkin terjadi juga bentrokan.
Warning bagi Pemerintah
Berbagai gesekan yang terjadi antara pengikut Sunni dan Syi’ah, yang kerap terjadi dibeberapa di Indonesia. Idealnya menjadi warning bagi pemerintah, supaya tindakan Syi’ah yang memprovokasi umat, menghalalkan segala cara demi penyebaran ajarannya.
Misalnya saja, sebagaimana dilansir di Hidayatullah.com dan beberapa media Islam lainnya. Syi’ah menyewa Empat orang preman tertangkap basah menyebarkan fatwa MUI palsu kepada jamaah pengajian tabligh akbar di Masjid Jami’ Amar Ma’ruf Bulak Kapal, Bekasi Timur, Ahad (22/5/2011).
Selain itu, Syi’ah gencar melakukan aksi teror yang dilakukannya melalui telepon maupun pesan singkat kepada panitia acara Tabligh Akbar tersebut. Salah satu peneror yang mengaku dari Mabes Polri, meminta agar pembicara tabligh akbar diganti dari Ustadz Syi’ah. Menurut, Ruhiyat mengaku tidak kaget karena kasus serupa, sebelumnya dialami ormas HASMI Jakarta.
Meski, baru kejadian di atas yang sempat terpublikasi. Tapi sudah menjadi bukti bahwa Syi’ah akan melakukan berbagai cara demi tersebarnya ajarannya. Sehingga, pemerintah harus mencegah, sebelum kejadian melebar, terjadi bentrokan, perang fisik. Sebagaimana yang terjadi dibeberapa negara, seperti di Irak, Iran, Bahrain.
Apabila Syi’ah merasa kuat akan memerangi setiap orang yang berbeda pemahamannya. Jika mereka masih minoritas maka ajakannya adalah “Persatuan Islam” jika mereka telah kuat maka tidak ada kata persatuan apalagi ukhuwah. Lihatlah apa yang terjadi di Iran, 15 juta ahlus sunnah di negeri tersebut tidak bisa mendirikan satu masjid pun! Padahal sinagog-sinagog Yahudi berdiri dengan amannya di sana.
Begitupun yang terjadi di Irak. Kebrutalan syi’ah terhadap ahlus sunnah di sana semakin menjadi-jadi dengan dibekingi pasukan Amerika. Dalam sebuah dialog interaktif acara televisi yang berbasis di mesir, seorang penelpon dari Irak menceritakan kondisi Muslim Sunni di sana. Menurut penelpon tersebut para ahlusunnah di sana mengalami intimidasi dari kaum syi’ah, penculikan, pembunuhan, penyiksaan bahkan pemerkosaan mereka lakukan. Mereka melakukan sweaping jika ada orang yang bernama Abu Bakar, Umar, atau Utsman dan nama sahabat Rasulullah lainnya maka mereka tak segan-segan untuk membakarnya hidup-hidup! (Tayangan kekejaman Syi’ah bisa Anda lihat di www.tv.wimakassar.org)
Jadi patut dipertanyakan apa maksud dari seruan ukhuwah Sunni-Syi’ah tersebut? Padahal di negeri syi’ah sendiri gaung ukhuwah tidak ada!
Olehnya itu, pemerintah harus tegas menindak pendukung Syiah. Pemerintah seharusnya merujuk pada fatwa MUI, yang mengatakan kesesatan Syi’ah, sebagai ajaran yang keluar dari Islam. Sehingga, seharusnya Syi’ah dilarang menyebarkan agama dan ajarannya di Indonesia. Ini yang ditunggu mayoritas umat Islam di Indonesia, sebelum pertumpahan darah akan terjadi di Indonesia, yang dipicu oleh kearogangan Syi’ah yang tidak ingin taat pada fatwa ulama.
Oleh Burhanuddin
Sumber: Buletin al-Balagh edisi 25 tahun VI Rajab 1432 H