Bahaya Takfir
Menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Yang mana mereka telah berani mengkafirkan Khalifah Utsman bin Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka.
Bahaya Takfir
Takfir artinya mencap atau memvonis seseorang bahwa ia telah kafir atau keluar dari Islam.
Takfir adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Sebab Vonis kafir terhadap seseorang memiliki konsekuensi dan implikasi yang tidak sederhana. Oleh sebab itu para Ulama sejak dulu hingga hari ini selalu berhati-hati dalam persoalan ini. Tidak boleh seorang Muslim tergesa-gesa dalam masalah ini hingga nampak fakta dan dalil yang jelas dan qath’I (pasti).
Dalam buku-buku Madzhab Hanafiyah disebutkan : Jika dalam suatu permasalahan ada banyak sisi yang menunjukkan kekafiran seseorang, dan ada satu sisi yang menunjukan ketidak kafirannya, maka hendaknya seorang Mufti cenderung sisi yang menunjukkan ketidak kafirannya (tidak mengkafirkan). Hal ini sebagai bentuk husnudzon (berprasangka baik) kepada seorang Muslim.
Dalil-Dalil Tentang Bahaya Takfir
1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (HR. Muslim dan Ahmad )
2. Hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” (HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad dan Muslim)
3. Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Bukhari dalam Shahihnya, Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad)
Dan masih banyak hadits yang menjelaskan bahaya serampangan dalam mengkafirkan.
Klasifikasi Manusia dalam Persoalan Takfir
Ketika kita memperhatikam sejarah dan kenyataan di lapangan ,kita dapati bahwa sikap manusia dalam permasalahan takfir terbagi tiga:
Pertama: Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menjatuhkan vonis kafir tanpa memperhatikan rambu–rambu syar’I dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam persoalan takfir. Mereka juga memudahkan persoalan dengan mengkafirkan orang yang tidak berhak untuk dikafirkan. Ini adalah pemikiran khawarij dan mu’tazilah .
Kedua: Ghuluw (Berlebih-lebihan) dalam mengingkari masalah takfir. Dengan klaim, takfir adalah hak prerogatif Allah. Ia adalah sulthan Ilahiyah (Kekuasaan Ketuahanan).Tidak ada seorang pun manusia berhak untuk menghukumi. Sebab, kekafiran tidak terjadi melainkan dengan pengingkaran dalam hati. Sementara hati manusia tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah semata. Ini adalah pemikiran sekte Murjia’ah.
Ketiga: I’tidal (moderat) dalam persoalan takfir. Komitmen dengan rambu-rambu syariat dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam menjatyhkan vonis kafir kepada seseorang. Hanya menjatuhkan vonis ketika syarat dan sebab yang menjadikan seorang kafir telah terpenuhi. Inilah sikap dan metode Ahlussunnha wal jama’ah.
Tidak diragukan lagi ,sikap yang pertama bertentangan dengan nash-nash (teks syariat dan dalil-dalil yang menentukan rambu-rambu dalam takfir. Hal ini termasuk sikap ekstrim yang dilarang oleh dalam syariat.
Adapun kelompok yang kedua telah mengingkari prinsip syariat yang jelas. Mereka mengingkari takfir terhadap orang yang berhak dikafirkan ketika sebab dan syarat yang menjadikan seseorang kafir telah terpenuhi pada orang tersebut.
Sikap kelompok kedua ini berpijak pada pandangan, kekufuran adalah perbuatan hati semata. Maksudnya menurut kelompok kedua ini, seseorang menjadi kafir bila mengingkari dengan hatinya. Seseorang tidak tercap kafir hanya karena perkataan dan perbuatannya yang tidak disertai keyakinan dalam hatinya.
Sikap seperti ini keliru, sebab kekufuran dapat terjadi karena perkataan, perbuatan dan atau keyakinan (I’tiqad). Ada keyakinan kufur seperti mengingkari wujud Allah, meyakini adanya syarikat bagi Allah, mengingkari Rasul dan Kitab-kitab samawiy. Adapula perkataan kufur seperti menghina Allah, mencaci Rasullullah, atau melecehkan Islam. Ada juga perbuatan kufur seperti sujud kepada salib atau menghinakan mushaf Al Qur’an dengan merobek, membakar, atau mencampakkannnya di tempat-tempat kotor.
Intinya, vonis kafir berkaitan pula dengan perkataan dan perbuatan kekufuran yang nampak, sebagaimana ucapan syahadat merupakan bukti keislaman seseorang. Demikian pula dengan amal pemikiran seperti mencaci rasul, menghina islam, memperolok-olok al-Qur’an merupakan tanda kekufuran.
Kaidah dan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dalam Masalah takfir
Masalah takfir (vonis kafir) memang bagian dari ajaran Islam. Namun, ada rambu-–rambu yang mesti dipatuhi dalam penerapannya. Ada kaidah-kaidah ilmiyah yang harus diterapkan sebelum menjatuhkan vonis kepada seseorang yang telah mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan kufur. Harus ada kehati-hatian di dalamnya.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al Atsary hafidzahullah berkata: “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’). Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal tersebut dalam banyak haditsnya. (al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, hal. 122)
Beliau melanjutkan, Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqomatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.
“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para salafush shalih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi, “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).
Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, V/382).[]
Maraji’:
1. Al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, karya Syaikh, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary.
2. www.saaid.net.
Sumber: www.tanaasuh.com