Published On: Sat, Apr 27th, 2013

Bahaya Mengolok-olok dan Menghina Agama

Mungkin kita sering menyaksikan begitu mudahnya sebagian orang mengolok-ngolok saudaranya yang ingin menjalankan syaria’t. Ada yang berjenggot kadang diolok-olok dengan kambing dan sebagainya. Ada pula yang mengenakan jilbab atau pun cadar juga tak luput dari olok-olokan mereka. Bahkan perkara yang merupakan rukun Islam seperti shalat pun kerap menjadi bahan lelucon bagi mereka. Seharusnya setiap muslim tahu bahwa perbuatan seperti ini bukanlah dosa biasa, tapi hal yang bisa mengantarkannya pada kekufuran meskipun dilakukan dengan niat bercanda.

Allah telah menyebutkan di antara sifat orang kafir adalah menghina agama Allah ‘Azza wa Jalla, Rasul-Nya, dan ayat-ayat-Nya. Allah telah menjelaskan hal itu di beberapa tempat dalam Kitab-Nya.

Allah menceritakan tentang istihya’ (penghinaan, ejekan, dan olok-olokan) mereka terhadap ayat-ayat-Nya:

“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokkan.” (QS. Al Kahfi: 56)

“Kecelakaan besar bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. Dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Al Jaatsiyah: 7-9)

Allah mengabarkan tentang penghinaan orang kafir terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): “Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?” (QS. Al Anbiya’: 36)

“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul?” (QS. Al furqaan: 41)

Allah juga menjelaskan penghinaan orang kafir terhadap semua rasul, bukan hanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (`adzab) olok-olokan mereka.” (QS. Al An’am: 10)

“Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabi pun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Al zukhruf: 6-7)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang rasul pun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Al Hijr: 10-11)

Ayat-ayat yang membicarakan hal itu sangat banyak. Sesungguhnya menghina dien termasuk kekufuran yang banyak dilakukan orang-orang terdahulu. Kekufuran mereka dengan penolakan dan mendustakan atau dengan kesombongan dan keengganan, yang kemudian ditambah dengan penghinaan terhadap para rasul dan risalah mereka. Semua itu Allah ceritakan berkaitan dengan seluruh umat yang kafir.

Syaikh Muhammad al-Tamimi rahimahullah memasukkan hal ini sebagai pembatal Islam yang ke enam dalam risalahnya Nawaqidl al Islam (pembatal-pembatal keislaman). Dan ini merupakan bagian dari pembatal Islam terbesar.

Istihza’ (penghinaan, mengejek, dan mengolok-olok terhadap dien) merupakan sifat orang kafir. Banyak orang yang mengaku Islam menjadi murtad karenanya. Buktinya, banyak para perawi yang mengabadikan kisah-kisah istihza’ yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Jarir dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang bagus, dari Abdullah bin Umar radliyallah ‘anhuma: “Pada perang Tabuk, ada seorang laki-laki berkata dalam sebuah Majelis: ‘kami tidak pernah melihat orang seperti para qurra’ (penghafal Al-Qur’an) kita, mereka adalah orang-orang yang buncit perutnya (karena banyak makan), paling dusta lisannya dan paling pengecut saat berperang.” Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya penghafal Al-Qur’an.

Ucapan lelaki tadi disergah dengan keras oleh ‘Auf bin Malik. “Kamu dusta, kamu ini pasti seorang munafik. Aku benar-benar akan memberitahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu ‘Auf datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kapadanya, ternyata Al-Qur’an telah mendahuluinya.

Lalu lelaki tadi datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berangkat menaiki ontanya. Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami hanya bermain-main dan berseloroh saja untuk mengusir kesenggangan saat menempuh perjalanan yang panjang dan memayahkan.”

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “seakan-akan aku melihat lelaki itu berpegangan pada tali pengikat pelana onta Rasulullah, sementara batu mengenai kedua kakinya dan membuatnya berdarah. Ia berkata, “Kami cuma berseloroh dan bersendau gurau saja.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” Beliau mengucapkan perkataan itu tanpa memalingkan wajah kepadanya, dan tidak pula menambah ucapan lain atasnya.” (Ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyyah, hlm. 17, 512, 546. Dinukil dari Fatwa mati buat penghujat, Abu Bashir, hlm. 28)

Berkaitan dengan kisah tersebut, turun tiga ayat berikut ini;

“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, sungguh kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. Al Taubah: 64-66)

Beberapa orang munafikin tersebut, sebelumnya berstatus sebagai orang beriman, seperti yang Allah ‘Azza wa Jalla firmankan, “sungguh kamu kafir sesudah beriman.” Mereka itu mukmin secara dhahir dan batin sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, tapi iman mereka lemah sehingga mereka melakukan istihza’.

Dalam kisah ini, pelaku kekufuran menjadi kafir tidak disyaratkan tahu bahwa perbuatannya adakah sebuah kekufuran. Tapi cukup dengan dia tahu bahwa perbuatan tersebut diharamkan. Mereka, para pencela, tidak mengetahui bahwa perbuatannya ini sebuah kekufuran, tapi mereka mengira perbuatannya tersebut bagian dosa yang tidak mengeluarkan dari iman (tidak memurtadkan), dan Allah tidak menerima udzur dari mereka itu.

Dalam kisah di atas juga mengandung faidah bahwa teman dalam kekufuran, ridla padanya, dan berakrab ria dengan orang yang mengucapkan kalimat kufur yang menunjukkan persetujuannya, seluruhnya kafir. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat itu telah menghukumi kafir terhadap mereka yang berada dalam satu rombongan, tanpa mengecualikan salah seorangpun. Padahal, yang berkata hanya salah seorang mereka, dan lainnya hanya mendengarkan. Sedangkan kelompok yang Allah maafkan, dalam salah satu pendapat, adalah orang yang mengingkari mereka terhadap perkataan-perkataan kufur. Dan pendapat lain menyebutkan, bahwa kelompok yang dimaafkan adalah mereka yang bertaubat, lalu Allah memaafkan kesalahan mereka. Sedangkan kelompok yang kekeh dengan kekufurannya dan berlaku nifaq, mereka itulah yang diadzab.

Faidah lain dari kisah di atas adalah bahwa pelaku kekufuran akan terhapus amal shalihnya dan keluar dari Islam walaupun ia seorang yang terlihat shalih, walau ia memiliki amal shalih yang banyak yang tidak pernah dimiliki kaum muslimin. Mereka-mereka itu telah ikut berjihad dalam ghazwah al ‘usrah (peperangan yang sangat berat dan sulit) yang menjadi ladang ujian terberat terhadap hamba-hamba Allah. Dan Allah telah menyucikan para peserta perang tersebut, “Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan” Kemudian mereka (para pencela dan pengolok-olok Islam) melakukan perbuatan kufur yang menyebabkan mereka keluar dari Islam sehingga amal shalih terbesarnya, berjihad dalam ghazwah al ‘usrah, terhapus.

Pelaku amal-amal besar, dari kalangan ulama, mujahidin, juru dakwah, ahli infaq, tidaklah aman dari kekufuran dan tidak terjamin oleh amal-amal shalih mereka, apabila melakukan perkataan, perbuatan, dan keyakinan kufur yang menyebabkan mereka keluar dari Islam. Bahkan, Allah akan menjadikan amal-amal mereka laksana debu yang diterbangkan angin.

Penutup

Mari memperkuat keimanan kita dengan mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman lewat majelis ta’lim, artikel-artikel Islam, kajian-kajian dan sebagainya. Semoga dengan hal tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing amalan kita, menjauhkan kita dari amalan-amalan yang tak bermanfaat terlebih amalan yang dimurkai-Nya. Wallahu a’lam bishawab.[]

 

Maraji’: Masa-il fii al I’tiqaad; karya Farhan bin Masyhur al Ruwaili

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author