Al Wala’ dan Al Bara’ Sebuah Keharusan
Walaa’ adalah masdar dari kata kerja “walaya” yang artinya dekat. Dan yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai, membantu dan menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya serta bertempat tinggal dengan mereka. Sedangkan al-baraa’ adalah masdar dari baraa’ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya adalah memutus hubungan dengan musuh atau memutus ikatan hati dengan orang kafir.
Di antara kandungan kalimat Tauhid adalah mencintai orang yang telah mengucapkan kalimat itu, serta memutuskan hubungan dengan orang-orang yang menyalahiNya. Allah ta’al berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,RasulNya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah. Dan siapa yang mengambil Allah, rasuNya, dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka pengikut agama Allah itulah yang akan menang” (Qs.al-Maaidah:55-56)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas-radhiyyallahu’anhuma-: “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi walaa karena Allah dan memusuhi karena Allah. Maka sesungguhnya kewalian dapat diperoleh dengan itu. Dan seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman sekalipun banyak shalat dan berpuasa sampai ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum bahwa persaudaraan manusia berdasarkan kepentinga duniawi yang demikian itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi para pelakunya” (HR.Thabrani dalam al-Kabir)
Hukum Menyambut dan Merayakan Hari Raya Orang Kafir
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari dari al-baraa’ adalah menjauhi syi’ar-syi’ar ibadah mereka, sedang syiar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka kaum muslimin berkewajiban menjauhinya dan meninggalkannya. Demikian juga, dilarang menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan atau hari sekolah, masak-masak dalam rangka merayakannya. Termasuk di dalamnya menggunakan kalender masehi. Dengan demikian dianjurkan kaum muslimin untuk menggunakan penanggalan hijriyah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh dengan mereka dalam hal yang khusus bagi hari raya mereka seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan hari kerja dan yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri, memberi hadiah, menjual barang guna yang diperlukan untuk hari raya. Tidak halal mengizinkan anak-anak melakukan permainan hari itu. Ringkasnya tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas hari raya mereka”
Demikian juga kita dilarang mengucapkan selamat (tahni’ah) atau ucapan belasungkawa (ta’ziyah), sebab itu berarti memberi walaa’ dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka.
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “…jika bertahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus menjadi milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan,”selamat hari natal” atau “berbahagialah pada hari ini raya ini” atau yang senada dengan itu, maka kalaupun ia selamat dari kekufuran, ia tidak bisa lepas dari kemaksiatan dan keharaman. Sebab itu sama saja dengan memberi ucapan selamat atas sikap mereka yang menyembah salib”. Selanjutnya beliau mengatakan, “maka barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka ia telah memantik murka Allah…”
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa memberi ucapan selamat, bergembira dengan hari raya orang kafir dilarang karena yang demikian menunjukkan kerelaan kepada agama mereka.
Allah Ta’ala berfirman tentang sikap Nabi Ibrahim-alaihissalam-:”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu pada) Ibrahim dan orang-orng besertanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah” (QS.al-Mumtahanah: 4)
Wallahu Ta’alaa A’laa Wa A’lam (Al Fikrah)
Sumber: Kitab Tauhid, Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan (dengan disertai sedikit perubahan)
Pingback: Al-Walaa’ dan Al-Baraa’ adalah sebuah keharusan | Pintusurga