(Syarh Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Kitab Thaharah Bab Al-Miyah (Air)
Hadits Ke-2
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata; Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنّ الماء طهور لا ينجّسه شيء
“Sesungguhnya air itu suci,tidak ada sesuatu pun yang menaji-sinya”. Diriwayatkan oleh tiga dan dishahihkan oleh Ahmad.
Biografi Singkat Sahabat Perawi Hadits:
Abu Sa’id al-Khudri adalah Sa’ad bin Malik bin sinan al-Khazraji al-Anshariy al-Khudriy. Al-Khudri merupakan nisbah kepada Khudrah salah satu kelompok dari kalangan Anshar. Beliau termasuk salah seorang ‘ulama dari kalangan shahabat, salahseorang almuktsiriyn (paling banyak) meriwayatkan hadits (1170 hadits 804 hadits diantaranya dalam shahihain). Beliau ikut berperang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebanyak duabelas kali, turut serta dalam Bai’atur Ridhwan. Wafat pada tahun 74 H dalam usia 86 tahun.
Kosa Kata Hadits:
Suci dan mensucikan:
طهور
Tidak menajisinya, maksudnya tidak merubahnya menjadi najis:
لاينجّسه
Penjelasan Umum
Hadits ini dikenal nama hadits sumur Budha’ah, berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; “Bolehkah kami berwudhu dengan (air) sumur budhaa’ah? Sementara kain pembalut haidh, daging anjing, dan benda-benda berbau busuk dibuang ke dalamnya? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: ”Sesungguhnya air tersebut suci dan mensucikan (thahur). . .” Al-Hadits.
Dalam hadits ini Rasulllah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa air itu suci dan mensucikan meskipun tercampur oleh sesuatu yang najis, najis tersebut tidak menajisinya, ia tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi hadits ini hanya berlaku untuk air yang mencapai dua qullah (sekitar 500 L/ 1/2 m3). karena air yang kurang dari dua qullah memungkinkan untuk terkontaminasi oleh najis (sebagaimana akan dijelaskan pada hadits selanjutnya). Dan tidak diragukan lagi bahwa air sumur budhaa’ah mencapai dua qullah. Sumur tersebut lebarnya enam hasta, tinggi airnya maksimal sampai kelamin (ketika sedang pasang) dan minimal di bawah aurat (ketika sedang susut) sebagaimana yang dihikayatkan oleh Abu Daud. Beliau berkata; Saya bertanya kepada penjaga sumur budhaa’ah tentang kedalamannya. Seberapa tinggi airnya ketika sedang pasang? Beliau menjawab, ‘sampai al-’aanah (rambut kemaluan)’. Saya bertanya lagi, jika susut? dia menjawab ‘dibawah aurat’. Abu Daud berkata, Saya telah mengukur sumur budhaa’ah dengan bajuku. Aku bentangkan baju di atasnya lalu aku mengukurnya dengan hasta, ternyata luasnya mencapai enam hasta. Dan saya bertanya lagi kepada yang membukakan pintu untukku. Lalu ia mengajakku masuk ke dalamnya, saya bertanya; apakah bangunannya ada yang berubah dari sebelumnya? Beliau menjawab ‘tidak’.
Pelajaran Penting Dari hadits:
1. Pentingnya merujuk dan bertanya kepada ‘Ulama ketika berhadapan dengan permasalahan yang tidak diketahui hukumnya. Sebagaimana perintah Allah dalam Al-Quran: Fas aluu ahladz-Dzikri in kuntum Laa Ta ‘ lamuun (Bertanyalah kepada Ahlidz-dzikr (ulama) jika kalian tidak mengetahui. Sebagaimana telah dicontohkan oleh sahabat yang bertanya dalam hadits ini. Beliau tidak mengetahui hukumnya berwudhu dengan air yang tercampuri oleh najis, sehingga menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Hukum asalnya air itu suci, sampai nampak bahwa ia telah telah terkontaminasi najis dan berubah warna, rasa, atau baunya oleh najis tersebut.
3. Air yang banyak tidak terpengaruh oleh najis, kecuali jika berubah warna, rasa, dan baunya sebagaimana dalam hadits: “Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh sesuatupun kecuali jika berubah bau, rasa, dan warnanya”. (HR Ibnu Majah dan didhaifkan (lemah) oleh Abu hatim rahimahullah). (sym)
Sumber: wahdah.or.id