Published On: Mon, Dec 10th, 2012

Agar Kita Tidak Merugi

“Jika sekiranya manusia mentadaburi surah ini dengan benar niscaya surah ini sudah cukup menjamin kebahagiaan mereka.” (Imam al-Syafi’i)

Surah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dalam petikan di atas adalah surah al-’Ashr. Satu surah yang hanya terdiri atas tiga ayat, tetapi memiliki kandungan yang sangat luas dan dalam. Bahkan ulama pendiri madzhab Syafi’i tersebut menegaskan bahwa, “Jika sekiranya Allah tidak menurunkan surat yang lain kepada hamba-Nya melainkan surat ini saja maka ia sudah cukup bagi mereka”.

Menurut Syekh Muhammad ibn Sholeh al-Utsaimin, maksud dari perkataan Imam Syafi’i adalah bahwa surat ini sudah cukup sebagai perintah untuk berpegang dengan agama Allah berupa keimanan amal sholeh dan berda’wah di jalan Allah, serta bersabar di atasnya. Bukan berarti surah ini sudah cukup bagi hamba dalam seluruh syari’at. Sebab, jika seorang yang berakal dan memiliki bashirah mendengar atau membaca surah tersebut pasti akan berusaha menyelamatkan dirinya dari kerugian yang diancamkan dalam surah itu. Ia akan berusaha menghiasi dirinya dengan keempat sifat yang disebutkan oleh Allah; iman, amal, saling wasiat mewasiati dalam kebenaran dan kesabaran.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh serta nasihat menasihati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran”. (QS Al ‘Ashr: 1-3)

Surah yang mulia ini mengajarkan kepada manusia beberapa langkah agar selamat dari kerugian. Syaikh ibn Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh Ushul Tsalatsah, “Allah Azza Wa Jalla bersumpah di dalam surat ini dengan dengan Wal ‘ashr (demi masa) bahwa semua manusia meskipun banyak harta dan anak serta tinggi kedudukannya tetap merugi. Kecuali orang yang dalam dirinya terkumpul empat sifat; Iman, amal sholeh, da’wah, dan sabar.

Keimanan

Keimananlah yang membuat seorang manusia selamat dari kerugian. Keimanan pulalah yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik. Allah telah menjamin bahwa Dia akan memberikan kehidupan yang baik kepada hamba yang hidup dan amalan-amalannya dilandasi oleh keimanan Allah berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs An Nahl: 97).

Tentu saja keimanan di sini bukan sekadar ucapan di bibir saja, tetapi keyakinan yang benar-benar tertanam di dalam hati lalu di ucapkan dengan lisan selanjutnya di buktikan oleh amalan anggota badan. Al-Hasan al Basri mengatakan: “bukanlah keimanan itu sekadar angan-angan saja tetapi keimanan adalah keyakinan yang tertanam di dalam hati dan di buktikan oleh amalan”.

Keimanan disini juga mencakup seluruh perkara yang mendekatkan kepada Allah berupa aqidah yang benar dan ilmu yang bermanfaat. Bahkan menurut Syekh Abdurrahman as-Sa’di, iman tidak akan wujud tanpa ilmu. Iman merupakan bagian dari ilmu. Artinya, iman tidak akan sempurna tanpa ilmu. Oleh karena itu, dalam Islam ilmu merupakan kewajiban pertama sebelum berkata dan berbuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Muhammad ayat 19, (yang artinya):

“Ketahuilah (ilmui-lah), bahwa tiada Ilah (Tuhan yang berhak disembah), kecuali Allah,…” (QS.Muhammad:19).

Amal Sholeh

Keimanan yang benar akan membuahkan amal. Seseorang masih terancam kerugian sampai ia membuktikan keimanannya dengan amal sholeh. Amal sholeh yang dimaksud adalah segala kebaikan, baik yang berkaitan dengan hak Allah, maupun yang berkaitan dengan kebaikan kepada sesama manusia, yang hukumnya wajib maupun yang sunnah.

Dengan kata lain amal sholeh juga mencakup seluruh perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepada Allah selama pelakunya melakukannya dengan niat ikhlash karena Allah dan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya amal sholeh terbaik adalah amalan yang ikhlash niatnya dan benar caranya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika mengomentari makna ahsanu ‘amala (amalan terbaik) dalam surat al-Mulk ayat 2. Beliau mengatakan, “Ahsanukum ‘amala” yang terbaik amalannya diantara kalian maksudnya; amalan yang paling ikhlash dan paling benar. Ditanyakan kepada beliau; wahai Abu Abdillah apa maksudnya? Beliau menjawab, suatu amalan meskipun pelakunya ikhlash tapi tidak benar maka tidak akan diterima, sebaliknya meskipun amalan itu benar tapi tidak ikhlash maka tidak akan diterima. Jadi suatu amalan dapat disebut sebagai amal sholeh jika niatnya suci (ikhlash) dan caranya benar (sesuai contoh/petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Seperti halnya dengan iman, amal sholeh perlu dibangun di atas landasan ilmu. Karena dengan ilmu kita dapat mewujudkan amalan yang benar yang sesuai petunjuk Nabi. Sebab kita tidak tahu apakah wudhu dan sholat kita sesuai dengan wudhu dan sholat Nabi kecuali dengan ilmu. Disinilah rahasianya mengapa menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim”.

Berdakwah

Seseorang yang telah beriman lalu merealisasikan keimanannya dengan amal sholeh maka ia telah menyempurnakan dirinya sendiri (Syekh As Sa’diy, Taisir, hlm. 934). Ibn Qayyim al-Jauziyah mengistilahkannya dengan orang yang sudah mencapai Al-Kamaal Al Fardi (kesempurnaan secara individual). Namun seorang muslim tidak pantas hanya menikmati keimanan dan kesholihannya sendirian. Ia masih terancam kerugian sampai mentransfer keimanan dan kesholihannya kepada orang lain. “Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”, demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Proses transformasi kesholihan itu adalah dengan da’wah yang dalam surah Al-Ashr ini dibahasakan dengan “Nasihat Menasihati di dalam kebenaran”. Maksudnya, saling berwasiat dan memotivasi untuk beriman dan beramal sholeh. Jangan lupa bahwa mentransfer kesholihan bukan hanya menyelamatkan dari kerugian tapi memiliki pahala yang banyak. Diantaranya seseorang akan mendapatkan pahala kebaikan yang ia ajarkan kepada orang lain tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam satu haditsnya.

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun,…”. (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad).

Bersabar

Mewujudkan ketiga perkara yang disebutkan di atas (Iman, amal, da’wah) bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak rintangan dan tantangan yang mesti dihadapi. Terlebih di zaman seperti sekarang dimana kebaikan dan kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang asing. Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap yang berjalan di atas kebenaran dan mengajak kepadanya pasti akan menghadapi hambatan dan ujian. Jadi bersabar di dalam merealisasikan keimanan, beramal sholeh dan menda’wahkannya adalah satu kemestian yang tidak dapat ditawar-tawar.

Sabar, kata yang mudah diucapkan. Tetapi butuh perjuangan dan kesabaran untuk merelaisasikannya. Secara bahasa, sabar artinya menahan. Dalam kitab Al-Jadid Syarh Kitab Tauhid, Syekh As-Sa’di mendefinisikan Sabar dengan menahan jiwa dari mendongkol, menahan lisan dari berkeluh kesah dan marah serta menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti menampar-nampar pipi atau merobek-robek kerah baju.

Ada tiga macam bentuk kesabaran, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari menjauhi kemaksiatan kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang menyakitkan dan menyusahkan.

Butuh Jihadun Nafs

Merealisasikan keempat sifat tersebut bukan sesuatu yang mudah. Butuh perjuangan dan kerja keras agar seseorang dapat mewujudkan hal tersebut. Perjuangan tersebut oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah disebut dengan jihadun nafs, perjuangan melawan hawa nafsu. Beliau mengatakan, “Jihadun Nafs ada empat tingkatan; pertama, Perjuangan melawan hawa nafsu dalam mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, Perjuangan dalam mengamalkan setelah mengetahui petunjuk dan agama tersebut. Ketiga, Perjuangan dalam menda’wahkan dan mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya. Keempat, Perjuangan dalam bersabar menghadapi tantangan da’wah”.

Barang siapa yang telah mewujudkan keempat aspek tersebut di atas maka menurut Ibnul Qayyim ia termasuk orang-orang Rabbani. Dengan mewujudkan keempatnya seorang manusia telah selamat dari kerugian dan mendapat keberuntungan yang besar.

Pentingnya berjamaah

Selain empat hal di atas, ada pesan lain yang tersirat dari surat al-’ashr, yaitu pentingnya ta’awun (tolong menolong) dalam mewujudkan empat sifat tersebut. Jika kita perhatikan, keempat aspek di atas dijelaskan oleh Allah dengan bentuk jamak. Perintah berda’wah dan bersabar disampaikan oleh Allah dengan kata tawashiy (saling berwasiat). Artinya ada aktifitas bersama. Hal ini mengisyaratkan pentingnya ta’awun dan kebersamaan di dalam mewujudkan keempat hal di atas. Hal ini sejalan dengan ayat lain dalam al-Qur’an yang berisi anjuran untuk saling tolong menolong dan bekerja sama dalam urusan kebaikan dan perbaikan. Seperti dalam surat al-Maidah ayat 2, yang artinya,

“…Dan tolong menolnglah kalian dalam kebaikan dan taqwa,…”. (QS. Al-Maidah: 2).

Terlebih di zaman ini dimana pelaku-pelaku kebathilan bekerjasama dengan begitu solid dan rapi di dalam menyebarkan kebathilan. Allah berfirman :

“…Dan orang-orang kafir adalah penolong antara satu dengan yang lain. Jika kalian tidak melakukannya (Tolong-menolong) maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi” (QS. Al-Anfal).

Oleh karena itu kebutuhan untuk saling bekerja sama dalam urusan kebaikan dan perbaikan (da’wah) merupakan satu kebutuhan mendesak diantarsa sesama pecinta dan pejuang kebaikan.

Oleh: Syamsuddin Lahanufi

Sumber: Buletin Dakwah al-Balagh edisi 4 Tahun 1434 H

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author