Abu Ubaidah Bin Jarrah - Pemegang Amanat Umat Dan Rasulullah
Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadu’, pemalu itulah diantara sifat yang paling menonjol dari Abu ‘Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu anhu. Muhammad bin Ja’far pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Ya Abalqasim,” kata utusan itu, “Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin terhadap kaum muslimin.” Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka seraya berkata, “Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.” Rasululah menyebut “amin” (terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.
Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat radhiyallahu anhum. Masing-masing ingin ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi utusan.
Umar ra mengungkapkan, “Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan.” Itulah mulianya ahklak Abu Ubaidah bin Jarrah.
Masuk kedalam shaff da’wah Islamiyah.
Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan dekatnya untuk mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Ustman bin Maz’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka sama-sama mengucapkan kalimat syahadah.
Pengorbanan
Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh apa yang dia miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan setengah atau pun sebahagiannya. Harta, tenaga dan raga beliau persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya akan dia infakkan, kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda yang gagah berani yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit sekali untuk di kalahkan.
Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan sahabat yang satu ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini bisa terlihat di dalam perjuangannya membela Islam. Dimana saat terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan, memerangi tentara musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah kandungnya yang masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan ketemu bapaknya ditengah-tengah kancah peperangan.
Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara Qabilah atau peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan tetapi adalah peperangan antara hizbullah(tentara Allah) dengan hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang haq dengan bathil, yang tidak mungkin disatukan selamamatahari masih terbit dari sebelah timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah perlawanan antara sang anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah kandung di depan matanya sendiri.
Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya:
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al Mujadilah: 22).
Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau sepenuhnya untuk Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum kerabat, kalau Islam yang berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq ataupun sebaliknya.
Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sempat terjatuh sehingga gigi depannya retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu Bakar kasihan dan ingin mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. “Biarkan itu bagian saya,” pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan Rasulullah pasti kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua giginya pun ikut tercabut juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, “Sebaik-baik gigi yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Perjuangan
Jabir bin Abdullah pernah bercerita, “Suatu ketika Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.mengutus kami dalam suatu peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Kami hanya dibekali sekarung korma untuk tiga ratus orang. Padahal perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir yang luas dan tandus. Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma. Namun disaat bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan satu korma untuk satu orang.
Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat kami dalam melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis, badan terasa letih, capek dan lapar. Namun perjalanan masih jauh. Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba disaat kami betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati, mula-mula Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi, karena keadaan sudah memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu kami melanjutkan perjalanan.”
Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan Umar bin Khattab. Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, “Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian.” Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, “Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah.”
Umarpun mengulangi pertanyaannya, “Apa masih ada yang lebih baik dari itu?”, lantas sahabat yang lainpun menjawab, “Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah.” Umar bin Khattab kembali bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab, “Wahai Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu.” Umar bin Khathab kemudian menjelaskan, “Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana.”
Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, “Kalau Abu Ubaidah masih hidup maka aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan bila kelak Allah swt bertanya tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawabnya, ‘Aku memilih dia karena dia seorang pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.’”
Demikianlah sosok kepribadian sahabat kita yang satu ini. Ia tidak pernah mundur dalam memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu, dan jiwanya ia korbankan demi Islam dan kejayaan umatnya. Radhiyallahu ‘anhu wardhahu.