Published On: Mon, Apr 8th, 2013

Abdurrahman Bin Auf, Saudagar Kaya, Dermawan dan Sederhana (2)

Tulisan sirah ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, Abdurrahman Bin Auf, Saudagar Kaya, Dermawan dan Sederhana (1)

Oleh : Syamsuddin al-Munawi, MA.

Sosok yang Tawadhu

Sahabat Abdurrahman bin Auf juga dikenal sebagai sosok yang tawadhu atau rendah hati. Kekayaannya yang berlimpah tidak membuatnya sombong. Syekh Abdurrahman Raf’at Basya menggambarkan kerendahhatian sahabat yang mulia ini. Beliau berkata: “Walaupun begitu kaya- rayanya, namun harta kekayaan itu seluruhnya tidak mempengaruhi jiwanya yang penuh Iman dan Taqwa. Apabila dia berada di tengah-tengah budaknya, orang tidak adapat membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan mana yang budak”.[1]

Sa’ad bin Hasan At-Tamimi mengatakan: “ ‘Abdurrahman bin ‘Auf tidak bisa dibedakan dengan budak-budaknya, lantaran ketawaduan beliau di dalam berpakaian. Semoga Allah meridhai Abdurrahman bin ‘Auf dan seluruh Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui (kebaikan) dan mengamalkaannya. Mereka mengetahui sabda Rasul yang mengatakan: “Al Badzadzah Minal Iman, Badzadzah adalah bagian dari Iman[2]. Badzaadzah artinya pakaian sederhana dan tawadhu. Dalam hadits lain Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan pakaian (tertentu) karena tawadhu kepada Allah, padahal ia sanggup memilki pakaian tersebut, maka pada hari kiamat kelak Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk lalu Allah menyuruhnya memilih perhiasan iman yang ia kehendaki untuk ia pakai. [3].[4]

Zuhud terhadap Kekuasaan

Biasanya harta kekayaan menjadikan pemilikinya haus terhadap kekuasaan. Sebagian orang kaya berambisi untuk menjadi penguasa dengan harapan mengeksiskan usaha dan bisnisnya. Sudah lazim terdengar seorang penguasa yang berlatar belakang pengusaha memanfaatkan jabatan dan kedudukannya untuk mengembangkan bisnisnya. Sehingga setiap kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan selalu menguntungkan dan mengokohkan bisnis sang penguasa. Tender-tender proyek diberikan kepada kroni dan kolega bisnisnya.

Akan tetapi bila kita melihat ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu, kita menjumpai sosok manusia super yang sangat zuhud terhadap kekuasaan. Sebagaimana masyhur dalam sejarah, sebelum meninggal dunia Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anhu berwasiat dan menunjuk enam orang Sahabat sebagai Tim Formatur yang akan menunjuk khalifah sepeninggal beliau. Syekh Abul Khail mengutip sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari, ketika Umar diminta untuk berwasiat menjelang wafatnya mengatakan, “Aku tidak menemukan orang yang lebih pantas menempati urusan ini (khalifah) selain beberapa orang yang ketika Rasulullah meninggal, Beliau ridha terhadap mereka. Lalu Umar menyebut nama-nama mereka satu persatu, Ali, ‘Utsman, Zubair [bin ‘Awwam], Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Sa’ad [bin Abi Waqqash], dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf [5]. Kalian akan disertai/disaksikan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar tetapi ia tidak berhak terhadap perkara ini (khilafah).[6]

Enam orang tersebut kemudian bermusyawarah. Sebelum mereka sampai pada satu keputusan, Abdurrahman angkat suara, serahkan urusan ini kepada tiga orang diantara kalian. Lalu masing-masing menunjuk satu orang. Zubair menunjuk ‘Ali . Thalhah menunjuk ‘Utsman, sedangkan Sa’ad menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf. Jadilah khilafah hak bagi tiga orang. Utsman, ‘Ali, dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian Abdurrahman mengundurkan diri dan mengusulkan agar mereka memilih satu diantara dua, yaitu ‘Utsman dan ‘Ali. Ali berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa engkau adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit dan bumi. Akhirnya Abdurrahman memilih ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah menggantikan ‘Umar bin Khathab. Pilihan Abdurrahman disetujui oleh lima orang dalam tim itu bahkan disetujui oleh kaum Muslimin di kota Madinah.

Fakta di atas menunjukkan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf tidak haus kekuasaan sebagaimana lazimnya orang-orang yang berduit. Bahkan beliau sangat zuhud terhadap kekuasaan. Ketika namanya disebut oleh Sa’ad bin Abi Waqqash beliau menjawab: “Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut lebih baik kalian menusukkan pisau di leherku dari satu sisi hingga tembus sisi yang lain”. [7]

Kiprahnya di dalam Da’wah

Selain dikenal sebagai saudagar yang dermawan dan militan di medan jihad, Abdurrahman bin ‘Auf juga terlibat langsung dalam aktivitas da’wah. Beliau tidak hanya mendukung da’wah Islamiyah dengan hartanya, tetapi beliau menjadi bagian dari sariyah da’wah yang diutus oleh Nabi untuk menda’wahkan Islam kepada suku-suku di sekitar kota Madinah. Mengenai keikutsertaan Abdurrahman bin ‘Auf dalam delegasi da’wah direkam dengan jelas oleh Imam ad Daruquthniy rahimahullah. Untuk lebih jelasnya kita simak penuturan Abdullah bin Umar rahiyallaahu ‘anhuma berikut ini:

Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil, Abdurrahman bin ‘Auf. Nabi mengatakan kepadanya, bersiaplah! Aku akan mengutusmu sebagai Sariyah, kata Nabi. Selanjutnya Abdurrahman bin Auf keluar bersama rekan-rekannya. Mereka terus berjalan hingga sampai didaerah Dumatul Jandal. Lalu mereka menda’wahi penduduk daerah tersebut selama tiga hari. Pada hari ketiga seorang yang bernama al Ashbagh ibn ‘Amr al Kalbi masuk Islam. Sebelumnya ia seorang penganut agama Nasrani, dia juga merupakan kepala suku daerah tersebut. Abdurrahman kemudian menulis surat kepada Nabi yang diantarkan oleh seorang pria dari Bani Juhainah bernama Rafi’ bin Mukaits. Setelah Rafi’ sampai kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan keberhasilan Abdurrahman bin Auf mengislamkan daerah Daumatul Jandal. Pada hari itu pula Nabi membalas surat Abdurrahman bin ‘ Auf. Diantara isinya adalah Nabi menginstruksikan kepada Abdurrahman untuk menikahi Putri al Ashbagh. Lalu Abdurrahman menikahi putri al Ashbagh yang bernama Tadhamur. Dari pernikahan ini Abdurrahman dikaruniai seorang putra bernama Abu Salamah bin Abdurrahman.[8]

Manaqib (Keutamaan) Abdurrahman bin ‘Auf

Abdurrahman bin ‘Auf memiliki beberapa manqabah (keutamaan) khusus yang tidak dimiliki oleh selainnya. Diantara keutamaan beliau adalah:

1. Satu diantara Sepuluh Shahabat yang dijamin masuk Surga

Pada prsinsipnya semua Sahabat Rasulullah adalah orang-orang yang mendapatkan janji dan jaminan surga dari Allah Ta’ala, sebagaimana diterangkan dalam Surah al Hadid ayat 10.

وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [٥٧:١٠]

Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (Al Husna) . Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat di atas Allah menjanjikan Al Husna (surga) kepada seluruh Shahabat Nabi. Adapun yang dimaksud dengan sepuluh orang yang dijamin masuk surga (Al ‘Asyarah al Mubasy Syariina biljannh) Adalah sepuluh sahabat yang pernah disebutkan oleh Rasulullah dalam satu majelis bahwa mereka adalah penghuni surga. Maksudnya adalah, pernah dalam suatu forum Rasulullah menyebut nama kesepuluh orang tersebut, diantaranya adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidziy, bahwa Rasulullah bersabda:”Ada sepuluh orang akan memasuki surga, Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, ‘Ali di surga [9], Thalhah di surga, Az Zubair di surga, ‘Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqash di surga, Sa’id bin Zaid di surga, dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah di surga”.[10]

2. Dipercaya di langit dan di Bumi

Abdurrahman bin ‘Auf adalah orang yang terpercaya dalam pandangan penduduk langit dan penduduk bumi. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam,” Abdurrahman bin ‘Auf terpercaya di langit dan terpercaya pula di bumi”.

3. Faqih dalam Ilmu Agama

Abdurrahman bin ‘Auf juga termasuk sahabat yang faqih dalam masalah agama. Berkata Ibnu Abbas: Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Umar bin Khattab. Maka Umar berkata, “apakah engkau pernah mendegnar hadits dari Rasulullah yang memerintahkan seseorang apabila lupa dalam shalatnya, dan apa yang dia perbuat?” Aku menjawab, ”Demi Allah, tidak pernah wahai Amirul Mukminin. Apakah engkau pernah mendengarnya?” Dia menjawab, ”Tidak pernah, demi Allah.” Tatkala kami sedang demikian, datanglah Abdurrahman bin Auf dan berkata, ”Apa yang sedang kalian lakukan?” Umar menjawab, ”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas,” kemudian ia menyebutkan pertanyaannya. Abdurrahman berkata, ”aku pernah mendengarkan tentang hal itu dari Rasulullah.” Apa yang engkau dengar wahai Abdurrahman?” Maka ia menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda, apabila lupa salah seorang di antara kalian di dalam shalatnya, sehingga tidak tahu apakah ia menambah atau mengurangi, apabila ragu satu raka’at atau dua raka’at, maka jadikanlah satu raka’at, dan apabila ia ragu dua raka’at atau tiga raka’at, maka jadikanlah dua raka’at, dan apabila ia ragu tiga raka’at atau empat raka’at, maka jadikanlah tiga raka’at, sehingga keraguannya di dalam menambah, kemudian sujud dua kali dan dia dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian salam.

Abdurrahman bin ‘Auf pernah berfatwa pada masa Rasulullah masih hidup dan Rasulullah pernah shalat di belakang beliau pada waktu perang Tabuk. Abdurrahman Raf’at Basya mengisahkan hal ini dalam bukunya Shuwarun Min HayaatishShahaabah. Belia menulis,

Allah memuliakan Abdurrahman dengan dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh kaum Muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu shalat sudah masuk, Rasulullah terlambat hadir. Maka ‘Abdurrahman menjadi Imam shalat berjamaahbagi kaum Muslimin ketika itu. Setelah hampir selesai raka’at pertama, Rasulullah tiba lalu beliau shalat di belakang ‘Abdurahmandan mengikutinya sebagai ma’mum. Apakah lagi yang lebih mulia dan utama daripada menjadi Imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para Nabi, yaitu Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. [11]

Wafatnya

Abdurrahman bin ‘Auf meninggal di Madinah pada tahun 31 H[12] pada usia 75 tahun.[13] Dan Beliau dimakamkan dipekuburan Baqi’. Oleh karena infaq telah mendarah daging pada dirinya, maka ketika akan wafat beliau mewasiatkan hartanya dalam jumlah yang banyak untuk dimanfaatkan di jalan Allah (Sabililla). Penulis kitab Asadul Ghabah menukil sebuah riwayat yang disampaikan oleh ‘Urwah bin Zubair, Abdurrahman mewasiatkan 50.000 dinar untuk infaq fi Sabilillah. Disamping itu beliau juga mewasitkan 400 dinar untuk diberikan kepada setiap veteran perang Badar yang masih hidup. Jumlah veteran perang Badar yang masih hidup saat ‘Abdurrahman meninggal sekitar 100 orang. Jadi beliau menginfakkan 40.000 dinar untuk perang Badar. Beliau juga mewasiatkan 1000 ekor kuda untuk diifakkan di jalan Allah. []

 

Maraji’:

Abul Khail, Muhamad bin Ibrahim Shaleh, 1430/2009, Taarikhu KhulafaairRaasydiin, Riyadh:Darul Fadhilah.

Al Mubarak Furi, Shafiyyurrahman, 1428/2007, Ar rahiqul Makhtum , Qatar: IdaaratusySyuunil Islamiyah.

Al Jazariy, Izuddin ibnu Atsir Abul Hasan Ali bin Muhammad,1424H/2003, Asadul Ghaabah Fiy Ma’rifatis Shahaabah, Beirut: Darul Kutubul ‘Ilmiyah.

Al Mishriy, Mahmud, 1423 h/2002,Ashhaab al Rasul, Mesir: Daar al Taqwa.

Asy-Sya’rawiy, Mutawalli, 1421H/2000, Ghazaaturrasuul,Kairo: Maktabutturaats al Islamiy.

Basya, Abdurrahman Raf’at,2001,Shuwarun Min Hayaatis Shahaabah, Jakarta: Media da’wah.

Khalid, Khalid Muhammad (terj) Muhil Dhofir,2007, Rijal Haularrasul, Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat.

 


 



[1] Abdurrahman, Shuwarun Min Hayaatis Shahaabah, Jakarta: Media da’wah, hlm.10

[2] HR Ahmad, Ibnu majah dan Hakim dari Abu Umamah al Haritsi radhiyallahu ‘anhu dan dishahaihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.2879.

[3] HR Tirmidziy dan Hakim dari Mu’adz bin Anas dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shahih Jami’ no.6145.

[4] Mahmud al Mishriy, AshHaabur Rasul, Mesir: Daruttaqwa,1423 H/2002 M,juz,1 hlm.244.

[5] Keenam orang ini adalah enam dari 10 Shahabat yang dijamin masuk surga. Sebenarnya ada satu Sahabat yang merupakan bagian dari 10 sahabat tersebut yang masih hidup. Tetapi tidak disebut dan tidak dimasukkan oleh Umar sebagai Tim Formatur, Yaitu Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Menurt analisa Ibn Katsir, ini merupakan bukti ke wara an seorang Umar. Karena Sa’id adalah keponakannya. Bahkan dalam sebagaian riwayat kata Ibnu Katsir Umar mengecualikan Sa’id dari enam orang tersebut. Umar berkata epada Sa’id, anda tidka termasuk bersama mereka.

[6] Muhamad bin Ibrahim Shaleh abul Khail, Taarikhu KhulafaairRaasydiin, Riyadh:Darul Fadhilah,1430/2009,cet.ke.1,hlm.218-219.

[7] Khalid Muhammad Khalid (terj) Muhil Dhofir, Rijal Haularrasul, Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat,2007,cet,ke.1.hlm367.

[8] Al Ishabah Fiy Tarajum Ash Shahaabah 1/108 dalam Mahmud al Mishriy, Ashaburrasul, hlm.245.

[9] Dalam sebagaian riwayat/redaksi nama ‘Ali didahulukan oleh Nabi sebelum Utsman. Urutannya; Abu Bakar, Umar, ‘Ali, ‘Utsman… dan seterusnya.

[10] HR Tirmidziy

[11] Abdurahman, Shuwarun, hlm.6-7

[12] Dalam versi lain tahun 32H

[13] Al Jazariy, Asadul Ghabah, hlm.479.

Pasang toolbar wahdahmakassar.org di browser Anda, Klik Di sini!

About the Author